Sambungan: Bingkisan Untuk Citra

Ntah berapa lama aku memejamkan mataku. Saat aku membukanya di sekelilingku masih gelap “Ya Allah… Kenapa semuanya gelap? Apa aku sudah menghadapmu ya Allah…? Ya Allah, aku belum meminta maaf sama Bunda karena sudah berbohong, belum banyak beribadah. Kenapa secepat ini kau cabut nyawaku?” Aku terus bergumam tanpa sadar. Aku bergumam lirih sambil menitihkan airmataku.
“Gita…Kamu udah sadar?” Suara seseorang menyadarkanku dari pikiran burukku “Aku…aku belum… Ya Allah, Alhamdulillah” Aku masih bergumam. “Cit…”kataku lirih “kamu dimana?”
“Aku di depanmu Git” jawabnya. “Cit…. sakit Cit…Aku gak kuat Cit”Ujarku. Aku menangis.
“sssstt…. Au. Kamu jangan… shhh… menangis. Cuma buang-buang energi kamu aja” nasihat Citra dan aku hanya bisa terisak. Entah, aku sudah gak tahu lagi sudah berapa lama aku terjebak di gedung ini. Hari mulai larut. Aku haus dan lapar, tetapi harus kutahan. Semoga ada tim SAR menemukan kami disini.
Benda berat itu masih menimpa tubuhku. Aku tidak bisa bergerak. Untuk mendongakkan kepala saja susah. “Cit…” Panggilku. Memastikan Citra masih tetap terjaga.
“ya?” Jawab Citra. Aku menghela nafas “sudah berapa jam kita disini? Kenapa tidak ada suara di sekitar kita? Kemana mereka?”
Citra hanya terdiam dan ia hanya bisa menghela napas “tadinya sih ada sekitar dua atau tiga orang lagi disini, tetapi magrib tadi satu persatu mereka gak ada lagi yang bergeming” Jawabnya.
“Siapa?” tanyaku dan Citra menjawab “Kak Dewi, Satya dan satu lagi aku gak tahu siapa”
“Innalillahi wa inna illahi rojiun”Ujarku “jadi tinggal kita berdua ya? Ya Allah, kalau Engkau menghendaki kami masih tetap hidup, kirimkanlah bantuan” aku mulai menangis lagi.
“Git, udah jangan menangis … yakin, kita pasti selamat…. Shhhhh”Citra kembali menenangkan aku. Aku hanya diam dan meletakkan kepalaku ke tanah karena tak mampu lagi aku untuk bergerak banyak. Aku hanya berdoa hingga aku tertidur dan aku harap ketika aku bangun, aku bukan di ruangan ini lagi. Aku keluar dan mendapat perawatan.
Ternyata harapan itu belum terkabul. Masih saja aku di ruangan ini hingga keesokkan harinya. Aku dapat melihat sosok Citra yang terkulai lemas dengan sepotong beton yang masih menghimpit kakinya. Aku juga melihat sosok kak Dewi, Satya dan Ryan yang sudah tidak bernyawa lagi.
“Cit, maaf ya, aku belum kasih kamu kado untuk ulang tahun kamu kemaren. Sebenarnya pulang dari sini aku mau kasihnya. Tapi…. sepertinya tertinggal di tas ku Cit” kataku terbata-bata dan Citra hanya bisa tersenyum kecut. Sedikit dipaksakan. Ya wajar, karena ia sedang menahan sakit.
“Aku sampai lupa” Citra mencoba mengambil sesuatu dari saku jaket yang ia kenakan dan ia mengeluarkannya “ini, gelang tanda persahabatan kita Git, aku punya dua, satu untuk aku dan satu lagi untukmu. Ini rencananya mau aku kasih juga waktu pulang dari sini, tapi karena kita masih tetap disini, aku mau kasih ini ke kamu” Citra mencoba memberikannya padaku namun ia tidak bisa. Akhirnya ia melempar gelang itu ke arahku. Aku mencoba meraihnya dan dapat kuraih.
“Bagus Cit…”aku mengenakannya dan lagi-lagi aku mengeluarkan airmataku.
Aku masih tertegun melihat pusara itu. Tidak menyangka akan secepat itu. Gelang berwarna biru itu. Sesuai dengan warna kesukaanku. Masih aku kenakan sampai saat ini. Gelang ini dari sahabatku, Citra yang ia berikan disaat keadaannya kritis. Aku kembali terkenang.
Hari ini adalah hari ketiga kami terjebak dalam gedung ini. Tim SAR dari sehari yang lalu sudah berteriak “Apa masih ada yang hidup?” Tetapi sepertinya tempat kami sulit terjangkau. Lagipula kami tidak punya energy lagi untuk membalas teriakkan itu. Kami tidak makan dan minum selama tiga hari dan dalam keadaan terhimpit. Pada pagi itu aku mulai pasrah kalau pada akhirnya aku menghadap Yang Kuasa. Aku sudah ikhlas. Tapi, Citra selalu memberikan aku semangat untuk hidup dan terus bertahan.
“Gita… Kamu itu cewek kuat. Kalau kamu pasrah, apa kamu gak kasian sama bunda dan ayah kamu yang mengharapkan kamu masih selamat?” Citra berbicara dengan sangat lemah, namun kata-katanya masih membangun. “Kamu harus yakin, tim SAR yang sedang  mencari kita… uhuk…uhuk” Nafasnya mulai tak stabil.
“Cit…Citra… kamu gak kenapa-kenapa?”tanyaku dengan suara sangat lemah dan terlihat Citra menggeleng. “TOLOOOOOONG” Teriaknya sekuat tenaga “TOLOOOOONG” dan kemudian ia terbatuk lagi.
“Udah lah Cit, nggak usah dipaksain. Nanti kamu makin parah”ujarku.
“nggak mau. Kalau gitu, nanti … uhuk… kamu makin parah. Aku nggak mau sahabat aku sampai terjadi apa-apa…. Uhuk…. karena aku nggak berbuat apa-apa, TOLOOOOONG”
Aku yang mendengar ucapan Citra menjadi tersentuh dan aku berusaha juga untuk berteriak “TOLOOOOONG” Teriakku. Kami berdua semakin berusaha untuk berteriak minta tolong agar tim penyelamat yang berada di lantai dasar mendengar kami. Namun disinilah kejadian aneh terjadi. Semakin lama suara Citra semakin melemah dan pada akhirnya tidak bersuara lagi. Aku yang menyadari itu langsung melihat ke arahnya. Ia tampak memejamkan matanya.
“Cit…Cit… Citra, Citra, bangun Cit” panggilku, namun Citra tak bergeming, aku panik. Aku kumpulkan segenap energiku untuk berteriak minta tolong hingga pada akhirnya semua gelap.
Ketika aku kembali terjaga aku lihat di sekililingku ramai. Mereka menggunakan pakaian putih “apa aku sudah ke Surga?” gumamku dan ternyata dugaanku salah aku ada di rumah sakit dan kini aku mampu menghirup udara segar. Kebahagiaanku hanya sesaat, ketika aku tahu bahwa aku akan lumpuh sementara, dan bisa pulih kembali kalau mengikuti terapi rutin. Hal ini dikarenakan tulang belakangku yang sedikit bermasalah karena terhimpit balok besar dan kabar berikutnya datang dari Citra, yang ternyata, pada hari dimana kami saling berteriak, adalah hari terakhir aku dengan Citra. Aku shock dan tak mampu berkata apa-apa.
Aku hanya bisa menangisi dengan apa yang terjadi. Citra yang begitu punya semangat untuk hidup justru harus mendahului aku. Kado yang aku janjikan untuk Citra ternyata tertinggal di rumah. Kini aku membawa kado itu dan aku membuka bungkusannya “ini Cit, kado yang aku janjikan. Aku belum sempat memberikannya ke kamu. Ini kado 17 tahunmu dari aku. Tapi sayang ya Cit, kamu gak bisa melihat ini semua. Aku menyesal, kenapa nggak aku kasih dari awal kadonya” Aku masih memegang isi dari kado itu. “Aku letakkan di atas pusara kamu aja ya” Aku meletakkan  barang-barang itu.
Ya, hadiah yang aku berikan ke Citra adalah sebuah album yang berisi perjalanan persahabatan kami berdua. Dimulai dari balita hingga kami berusia 17 tahun dan sebuah kalung dimana aku memegang kalung berbandul gembok dan dia berbandul kunci serta sebuah boneka beruang berwarna pink dan lucu. Boneka ini adalah boneka yang diinginkan Citra sewaktu kami sedang berjalan di depan toko boneka.
“Citra. Aku janji, aku akan selalu menjadi cewek tegar, dan kuat seperti apa yang kamu bilang. Persahabatan kamu dan aku akan abadi selamanya”

Comments

Popular posts from this blog

Review Wahana Internsip Dokter

Chapter 10 : Koass Stase Obgyn

koass Stase Bedah : Bedah Lucu, Bedah Bahagia, Bedah Ceria