Nine days part 6
Keesokkan harinya, tepatnya hari kedua perjalanan ini. Seharusnya ditargetkan pagi ini kami sudah tiba di pulau Jawa. Namun karena masalah itu, pagi ini kami masih berada di perbatasan Sumsel-Lampung. Saat berada di kota Bandar Lampung, aku dapat SMS dari temanku yang berada di Metro, Lampung. Oke itu tidak penting. Yang jelas, sepanjang menusuri kota Bandar Lampung, anak-anak di bus mulai bertanya, “Hasbi, nunggu dimana sih, gak jelas banget” dan pertanyaan itu selalu berulang, sampai akhirnya pukul sembilanan kami tiba di sebuah resto, ntah apa itu namanya. Yang jelas resto itu nyebelin. Udah nasi gorengnya keras, lauknya juga kerupuk tambah telor, mahal pula. Zzzzzzz. Untung dendeng kering yang aku bawa masih ada, setidaknya makanku sedikit berselera. Aku membagikannya ke teman meja makanku. Setelah itu, kembali, perjalanan dilanjutkan.
Kami berhenti di depan sebuah masjid untuk menumpang buang air. Aku tetap berada di bus sementara beberapa yang lain turun. Tidak berapa lama, tiba-tiba mereka berlarian menuju bus. Mereka ketakutan. Ternyata, ada seorang kakek-kakek yang sedang membawa batu dan berancang-ancang ingin melemparkan kearah mereka. Aku tidak tahu masalahnya apa mengapa kakek itu marah dengan mereka dan membuat mereka takut dan akhirnya mereka tidak jadi buang air. Lucunya, Fiqih dan Tyo dengan santainya berjalan menuju bus, tanpa merasa terjadi apa-apa. -_-
Tak jauh dari masjid itu tiba-tiba salah satu dari kami berteriak “itu Bibi”. Terus yang lain juga nyahut “iya, itu bibi, itu Hasbi” terlihat Hasbi dengan baju kaos, tas punggung dan bertopi itu berlari mengejar bus. Hingga di tikungan bus berhenti dan Hasbi naik ke bus. Naiknya Hasbi ke Bis, naik pula beberapa pengamen dan mengamen di bus, ada yang berkomentar “Bi, kau bawa teman pula” dan setelah kami memberikan seribu perak rata-rata per anak, pengamen itu turun.
Kami mulai merasa jenuh. Habisnya, ternyata Lampung itu luas banget. Padahal kami sudah melihat selat sunda dari kejauhan, dan ternyata, butuh waktu kurang lebih tiga jam untuk tiba di pelabuhan. Sepanjang perjalanan hanya kebun singkong yang kami lihat dan Fiqih bergumam “ini bisa jadi bahan penilitian aku untuk KI nih (?)” lagi liburan gini masih sempat-sempatnya mikirin Karya Ilmiah. Terus aku bilang “iyolah Qih, bilanglah ke Mia, gek kau minta dana buat ngadain penelitian disini” dan pada akhirnya kami tiba di pelabuhan Bakeuheuni, Lampung. Dan lagi, semua pada bersorak kesenangan “Akhirnya, JAWOOO… I’m coming, aku balek kampung (?)” Tyo mengumandangkan kata-kata itu. Yang memegang kamera baik itu kamera digital maupun kamera hp mulai mengabadikan panorama sebelum pelabuhan yang aku bilang “it’s really nice, kayak jalan menuju pantai air bangis (?)”
Dan, jeng…. Jeng… jeng….. ‘Selamat datang di pelabuhan Bakeuheuni’ dan tahu apa, lagi-lagi dengan noraknya semua bersorak, tapi biarlah, kita senang, siapa yang mau larang, kalau berani nih (ngasih tinju?). Perlahan bus mulai memasuki kapal dan yap! Bus berhenti tepat pukul setengah dua lewat. Tentunya kami enggan melawati momen ini. Kami turun dari bus dan mencari tempat untuk duduk. Ternyata, na’udzubillah, yang namanya kapal memang baunya selalu begini, bau asap rokok dimana-dimana, bau mie, bau hawa panas (?) dan akhirnya aku dan teman-temanku memutuskan untuk duduk-duduk di sebuah area. Tampaknya dipakai buat landasan hellikopter. Kebetulan juga suasananya bagus, bisa melihat laut dan anginnya juga semringwing.
Taraaaa…. Kamera di tangan sudah siap untuk mengambil gambar, dan jepret, jepret, jepret. Foto dengan berbagai posisi di ambil. Widya berkata “selpiii…. Potoin aku, ntar aku cuci pas di Jambi”. Eka bilang “sel, sel, potoin”. Ato Marina “kak, kak, poto berdua yoook” dan aku bilang “woyyy,, poto sekelas yookkk”. Dan mulailah menitipkan kamera ke salah satu siswa IPA1 untuk mengambil gambar kami sekelas. Setelah sekelas, foto khusus yang cewek, abis tu yang cowok dan yang paling aneh “woooyy,,,,, poto angkatan 93, 94, 95 yoook!” ntah siapa yang mencetuskannya aku lupa, kalo tidak salah Lusi ato aku? Ntahlah. Mulailah kami berjejer. Aku emil. Hafiz, Mia angkatan kelahiran 93, disusul Lusi, Marina, Ezar, Eka angkatan kelahiran 94, dan Fiqih, Putri, Fika, Tyo dan Zella angkatan kelahiran 95. Dan selanjutnya “wooooyyy,,,,, the jilbabers foto” kata Eka ato nggak Mia kalo gak salah. Dan mulai, aku, Eka, Mia dan Diba berfoto. Lalu “yang orang Jawoo befoto” kata Uci, mulailah, mulai dari orang Jawa asli sampe Cuma numpang muka yang katanya kayak muka jawa berpoto. Kemudian “kaloo gitu yang orang padang jugo lah” kalo ini aku lupa siapa yang mencetuskan dan again berpoto.
Setelah puas, akhirnya kami memutuskan untuk duduk dan lagi pula gerimis. Aku menikmati riak nya air laut. Indah lho (?). dan tak terasa kota Jakarta semakin dekat. Kami bersiap-siap menuju bus dan duduk dengan rapi “Jawo, Jawo, Jawo, Jawo. Good bye Sumatera” Kata Eka dan tibalah kami di Banten. Bus berhenti lagi di sebuah rumah makan yang lebih sadis daripada rumah makan yang menyajikan nasi goreng tadi. Lebih mahal, dan seenaknya. Dikirain, teh botol yang disediakan pemilik rumah makan ini gratis sebagai pengganti air putih, Karena memang mereka tidak menyediakan air putih dan ternyata….. homina,homina,homina. Selain itu mereka yang makan di luar rumah makan, merasakan getirnya makan yang mahal untuk sebuah soto. Radit mengeluh “makan ati aku. Belum apa-apa udah bangkrut gini. Kalo gini caranya mending kayak rombongan ke Bali. Gak jadi pergi (?)”, terus Nadya bilang “aduh, gak tahan mau ke wc” trus ada yang nimbrung, Angga apa Dimaz apa Emil bilang “aku udah lega Nad(?)” dan setelah shalat kami melanjutkan perjalanan.
Tak terasa hari menginjak Maghrib dan kami berhenti di sebuah mall di kota Bekasi untuk shalat. Kebetulan mall itu menyediakan tempat untuk pemberhentian bus dan istirahat para penumpang. Tapi batas yang diberikan mall hanya dua jam untuk tiap bus. Setelah shalat perjalanan dilanjutkan. Pada waktu itu ketua rombongan Arum dan pembimbing udah mewanti-wanti “teman-teman, kita punya janji dengan UGM jam Sembilan, dan tidak boleh telat. Jadi, kalau mau tetap jadi ke UGM, kita tidak bisa terus-terusan berhenti, takutnya telat tiba di UGM”. Tibalah di Nagrek, entah pada saat apa, seorang pengamen dengan suara seraknya dan gitarnya, masuk ke dalam bus ini. Mulailah pengamen ini bernyanyi, mulai dari lagu firman idol , kehilangan hingga lagu dangdut, judulnya aku lupa, yang jelas, ni mas-mas pengamennya duet dengan Putri, teman sekelasku. Setelah pengamen itu diberi uang dan turun semua pada lega. Abisnya, pengamen itu nongkrong di bus, lama banget. Gak tau ni orang, bocah-bocah di bus udah pada ngantuk.
Akhirnya aku tidur. Sesekali aku merasakan bus ini bergoncang hebat. Mungkin karena gelap supir gak melihat ada lubang, sehingga main hantam (?). tepat pukul dua belas, kami berhenti di warung bakso, untuk makan malam. Awalnya sih nggak niat turun, tapi karena lapar, aku, putri dan fika turun. Sekedar untuk minum teh awalnya. Eh nggak taunya, perutku mulai lagi deh, akhirnya aku pesan bakso tanpa mie satu porsi, fika juga beli kalo gak salah. Satu per satu, teman sekelasku turun dari bus, dan duduk di dekat kami. Hanya untuk satu tujuan “nge charge dimana? bayar nggak?” Tanya beberapa dari mereka. Kalo gak salah, Eka sama Emil deh. Kami menunjuk ke arah gak jauh dari tempat kami duduk. Kebetulan kami juga nge charge disana. Terus gak lama kemudian, Tyo apa Emil apa Fiqih nanya “wc nya dimana? Bayar?” kadang inilah susahnya pergi tanpa orangtua, pengeluaran harus sebisanya ngirit. Kalo perlu apapun yang bersifat sederhana jangan sampe bayar kayak wc.
Udah bayar dengan harga bakso agak mahal sih, lalu melanjutkan perjalanan. Beberapa temanku masih ada yang baru pesan kayak Wipang ama Izuno. Kalo Wipang dkk sih tetap makan disitu, walaupun sudah disorakkin untuk cepet ke bus kalo Izuno, bungkus bawa ke bus, sama kayak Hafiz. Di perjalanan Izuno masih sibuk dengan bakso dan kuahnya yang gak bisa diam. Mana makannya pake sumpit. Kebayang kan, di perjalanan dengan jalan yang nggak mulus, makan makanan yang berkuah terus pake sumpit pula (?)
Comments
Post a Comment