Nine days part 11

Aku kira, setelah berkumpul, kabar baik akan datang, yaitu berangkat ke Bandung, tapi apa, supir bilang “gak bisa ke Bandung, nanti mau nginap dimana? Soalnya kita janji check in subuh-subuh” jadinya kami melonglo sebentar di bawah pohon. Aku melihat foto bersama saat berada di Borobudur, dan tidak ada aku. Aku dan yang tidak ikutan agak mupeng. Oke nggak penting, setelah ditanya ke tour guide tempat buat ngadem dimana dia menjawab di sekitar gallery, perpus apa museum, ntah lupa dan yang jelas katanya gratis dan kami menuju kesana. Ketemulah tempat dengan label seperti yang dijelaskan tourguide. Untunglah di depan gedung ada penjual minuman dan makanan. Langsung saja kami membeli. Emang kalau udah terbiasa itu, budaya dan bahasa susah dilepas, ada yang bilang gini “mbak, arthess nya satu” mbaknya bingung, setelah temannya nyikut baru diralat “mbak, air mineralnya satu” dan bodohnya, mbak itu masih juga bingung, dan diralat lagi “itu mbak, aqua nya satu” barulah mbaknya ngerti. Terus ada lagi yang bilang gini “mbak, sosoknya” itu si Fiqih yang bilang. Bagi yang nggak tau, sosok dalam bahasa Jambi artinya kembalian. Jelas saja mbaknya bingung. Ada yang bilang ‘assoy’ lah, ‘bae’ lah, ‘sikok’ lah. Well, jadikan itu pengalaman berharga.
Setelah ditanya, ternyata disana kalau mau masuk harus bayar, aku dan beberapa temanku memutuskan untuk duduk di luar saja. Pegal kalau harus keliling ke dalam. Ada niat untuk meninggalkan tempat itu, tapi karena kekompakkan (lebay) akhirnya kami urungkan. Tapi nggak lama kemudian, karena capek menunggu akhirnya beberapa dari kami meninggalkan tempat itu dan menuju ke …… “yaelah woy, ini kan yang dibilang mbak guide tadi, pantes aja disana bayar” kata salah satu temanku. Si Dimas apa Nadya gitu yang bilang. Nongkrong deh disini, lihat-lihat foto, dan di tengah-tengah ruangan terdapat kapal besar yang bernama ‘Samudera Raksasa Borobudur’ kalau tidak salah. Sepertinya itu replikanya. Ya, kami berfoto di sekitar kapal, sayang tidak dapat masuk. Sebagian lagi ada yang memainkan semacam monitor, dengan sedikit games, dan aku tak tahu apa itu.
Setelah bosan, akhirnya aku dan teman-temanku memutuskan untuk pulang dan menuju bus, menuju ke bus pun perjuangannya berat banget, melewati penjual aksesoris yang memaksa pula dan aku Cuma bilang “mboten bu, mboten mas, mboten pak” yang artinya dalam bahasa jawa, ‘nggak’. Ajaran dari bu Umi sih sebelum turun dari bus. Bu Umi bilang kalo ada yang nawarin gitu bilang aja “mboten mas, mboten bu” gitu kata bu Umi, jadilah aku praktikan. Di tengah perjalanan menuju bus, aku terdampar sendirian. Hiks. Teman sekelasku pada menghilang. Aku serempak dengan rombongan Rizki kalo tidak salah, terus mereka bilang mau makan di salah satu warungnya, melihat tidak ada teman sekelasku, aku berjalan lagi sendirian  dan di depanku, untunglah ada rombongan anak cowok dan Diba, sepertinya hendak ke bus. Aku meng sms Lusi, menanyakan keberadaan mereka, dan mereka menjawab, sudah di bus, mau makan dengan bu Umi ternyata mereka bukan bertujuan untuk makan, padahal aku sudah di depan pintu gerbang ‘selamat jalan’ dan aku memutuskan untuk memutar balik (gak jelas banget aku). Olalala, ternyata Diba dan Ezar berhenti di salah satu penjual aksesoris, untuk oleh-oleh. Awalnya mau nimbrung aja, tapi setelah aku pikir bakalan mengganggu, akhirnya aku pergi.
Di jalan aku ketemu dengan rombongan Arum dan Melvi yang sedang belanja, lalallala. Perutku yang sudah tidak dapat diajak kompromi dan berjalan menuju warung makan dimana rombongan Rizki makan setelah sebelumnya aku meng sms Eka. Aku pesan nasi soto dan harganya…. Sedikit wahh. Disana aku bertemu, Marina, Eka dan Mia dan setelah makan, mulai deh, si Eka, semangat belanja nya mulai, aku dan Marina berjalan berdua memisahkan diri, lalu pergi mencari kain yang seperti Zella beli di Malioboro. Setelah dapat, ternyata harganya lebih mahal, aku urungkan tapi si ibu penjual bilang “yasudah ambil saja 15000 sebagai penglaris, laris,laris, laris laris”. Dan apakah anda tau, aku agak menyesal sudah membeli kain merah jambu itu, ternyata bentuknya seperti taplak meja. Lalalala.
Ujung-ujungnya, aku dan Marina tinggal berdua dan telah tiba di bus. Hari sudah menunjukkan pukul setengah tiga dan kami belum shalat Zuhur, Melvi bilang, “shalat nya di luar pekarangan, ada mushalla disitu, sel pinjam kamera, mau lihat fotonya” aku memberikan kamera itu dan pergi ke Mushalla bersama Marina. Setelah selesai shalat, kami kembali ke bus, dan ternyata anak – anak cowok kelas CI makan di dekat bus. Oke nggak penting. Di sekitar bus, aku melihat ada penjual pemijat atau pengerok atau sejenisnya lah, kutanya harganya, dan ternyata lebih mahal dari yang aku Tanya di dalam, setelah tawar menawar sepakat dengan harga yang aku tawarkan, aku terkejut kok aku bisa menawar dengan harga yang jauh lebih mahal dari yang di dalam kemudian aku bilang “eh, nggak jadi beli bu” trus ibu itu nanya, “kenapa neng? Katanya tadi mau?” aku menggeleng. Mampus, sampai bus itu belum jalan aku ditawari terus, kayak dipaksa, mana habis itu ibunya ngomel, aku jadi nggak enak, takutnya gara-gara ibu itu nggak ikhlas, ada kejadian aneh lagi di jalan.
Hari sudah semakin sore saja. Kami bersiap-siap menuju Bandung. Berangkat!. Sekitar pukul tujuh, kami berhenti di rest area, untuk shalat dan makan. Tempatnya tak jauh beda dengan rest area yang kami kunjungi sebelumnya, mungkin masih satu cabang. Di sana aku pesan nasi sama ayam goreng ditambah kuah dikit, dan air mineral, dengan harga, ya… relative. Tiba-tiba mamaku nelpon lewat hapenya Eka “sel, sel, mamamu” jerit Eka dan aku mengangkatnya. Mulai deh mamaku ngomel, “kenapa hapenya nggak pernah diangkat? Eee, percuma dibelikan hape kalo nggak bisa dihubungi” dan aku menjawab pelan “hape nya di tas ma, nggak kedengeran” dan mamaku sedikit berdebat “kok hape eka bisa terdengar?” aku menjawab “hapenya di saku mam”
Mulai mama bertanya “makan dimana? Sambalnya apa?” aku menjawab “di rest area ma, makan ayam sama nasi” terus mama nanya “wiiihh,,,, enak nggak nak?” aku yang nelpon sambil makan dan lagi motong ayam goreng yang keras kayak batu menjawab “nggak ma, ayamnya keras” eh, pas ngomong kayak gitu yang lain pada ngakak. Pembicaraan berakhir dan aku mengembalikan hape Eka ke empu nya. Mulai deh kami ngebahas masalah makanan yang serba tidak nikmat, rindu masakan rumah. Ngomongin gini ya nasib anak kos-kosan dan sebagainya.
Setelah selesai, ternyata kami nggak langsung berangkat, lampu mobil bus nya mengalami gangguan dan sedang diperbaiki. Kami naik ke bus. Eh, AC nya nggak dinyalain, udah kayak cacing kepanasan di dalam, akhirnya aku turun. Ngadem. Sekitar lima belas menit mobilnya siap berangkat.

Comments

Popular posts from this blog

Review Wahana Internsip Dokter

Chapter 10 : Koass Stase Obgyn

koass Stase Bedah : Bedah Lucu, Bedah Bahagia, Bedah Ceria