Spesial nggak pake telor
"Na... makan apa kita malam ni?" tanyaku pada teman satu kosanku. Rina yang kamarnya berada di sebelah kamarku malam ini sedang nongkrong di kamarku. Tepatnya ia teman baruku. Ia baru pindah beberapa minggu yang lalu.
"kita hunting makanan di deket kampus itu aja kali ya?" usul Rina. Kampusku yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggalku. Kebetulan kawasan di sekitarnya cukup ramai. Bila malam tiba, banyak penjual makanan menjajakan makanan untuk santapan di malam hari dan mereka buka dari jam lima sore hingga 5 subuh. Makanan yang dijajakan beragam, enak dan murah. Sesuai dengan kantong mahasiswa.
Aku mengiyakan saja usul Rina. Kebetulan aku rindu dengan nasi goreng Bik Inah yang berjualan di kawasan itu juga. Nasi gorengnya enak, komplit dan harga terjangkau. Setelah merapikan buku-buku yang berserakkan, aku dan Rina pun berjalan menyusuri gang sempit itu. Sedikit menyebrangi jalan dan ditemukan aneka ragam makanan.
"kamu pesan nasi goreng, aku mau pesan pecel lele yang di sana aja, ntar kita makannya tempat bik Inah, oke?" ucapnya dan aku mengacungkan jempolku tanda setuju.
"Bik, nasi goreng spesialnya satu yaa... tapi nggak terlalu pedes" ucapku pada si penjual dan penjual mengangguk. Aku mencari tempat kosong dan kutemukan bangku itu berada di tengah-tengah warung.
"Bik, nasi goreng spesial satu pedas, nggak pake telor" ucap seseorang yang kini berada tepat di sebrang mejaku. Aku begitu hapal wajahnya. Tapi siapa ya? gumamku dalam hati. Setelah ia memesan, ia mengambil posisi tepat di sebrang ku namun satu bangku di sebelahnya.
"Aduh.... ini orang siapa yaa? kenapa aku merasa sering melihat dia, tapi.... siapa?" aku memperhatikannya sambil bertanya-tanya dalam hati. Sadar akan aku perhatikan, ia pun menoleh ke arahku "aduh mampus, ini orang sadar kalau aku perhatiin dari tadi" umpatku dalam hati.
Sambil mengangkat tangan dan sedikit berteriak "mang, es teh manis satu" ucapnya. Gondok! Meskipun begitu aku lega, karena tidak ketahuan sedari tadi aku memperhatikannya.
"Ini mbak, nasi goreng spesial nggak terlalu pedas" Seorang wanita paruh baya mengantarkan sepiring nasi ke mejaku dan aku mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.
"apa enaknya nasi goreng kalau nggak pedas?" ucap seseorang yang suaranya mulai aku kenal. Dia itu laki-laki yang daritadi aku perhatikan cukup lama karena merasa pernah kenal namun lupa siapa dan walah... apa urusannya ia sampai mengomentari apa yang aku pesan. Aku cuma diam dan makan dengan tenang.
"Yah dicuekin. Aku tahu kok dari tadi kamu perhatiin aku terus. Kenapa? naksir?" ucapnya pe-de. Aku tersedak dan buru-buru menyambar cerek dan gelas, lalu menuangkan air kemudian menegaknya sampai habis. Yang membuat aku sampai tersedak tadi hanya tersenyum simpul.
"Ini mas, pesanannya, Nasi goreng spesial pedas nggak pake telor" Ujar bik Inah dan ia mengucapkan terima kasih pada wanita itu sambil tersenyum, kemudian menyambar sendok dan garpu yang ada di sebelahnya.
Aku memperhatikan setiap detil gerak geriknya kemudian bergumam "Aneh"
Ia mendengar gumaman ku "apanya yang aneh?" tanyanya balik dan aku melotot ke arahnya. Ia hanya tertawa cekikikan.
Telilit....telilit...
"Iya Na, kenapa?" tanyaku. panggilan masuk dari Rina.
"Aduh sorry, mendadak itu, nyokap datang, jadi aku buru-buru balik ke kosan. Kamu disana sendirian nggak papa kan?" ujar Rina dengan sangat-sangat menyesal dan meminta maaf. Nada bicaraku sedikit turun dan tidak berselera. Aku hanya mengiyakan dan mengucapkan "yaudah nggak papa Na, have fun with your mom yaa" dan mematikan handphone.
"Ditinggal ni ye" ujar laki-laki itu sok tahu. Tapi emang benar apa yang diucapkannya "Apa urusanmu?" ujarku mendelik dan lagi-lagi laki-laki aneh itu tertawa cekikikan pelan. Nafsu makanku hilang sama sekali. Tapi tetap, nasi yang aku makan tak bersisa. Aku berdiri dan hendak membayar begitu pula laki-laki itu. Hati mulai rishi dan bergumam 'ini anak kenapa lagi ikut-ikutan' .
"aku dulu yang bayar" ucapku sambil mendelik dan laki-laki itu sebenarnya tidak mau mengalah tapi akhirnya menyerah juga.
"berapa bik?" tanyaku dan si bibik menjawab "25 ribu neng" ujar si bik Inah dan aku kaget.
"25 ribu bik? mahal amat? " tanyaku tidak percaya mendengar hal itu.
"bukannya mbak sama mas ini beli nasi gorengnya dua ditambah es teh satu?" tanya wanita itu dan aku menggeleng "bayarnya beda bik. Aku cuma pesan nasi goreng aja" ucapku dan si bik Inah ber Oh pendek.
"Sebelas ribu neng, si mas nya empat belas ribu" ucap si bik Inah dan kami masing-masing mengeluarkan uang, Aku mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dan selembar uang dua ribu. Sementara laki-laki yang di sebelah aku ini mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dan selembar uang lima ribu.
"Wah, gak ada uang seribuan ya mbak?" tanya Bik Inah. Aku menggeleng. "Si mas nggak ada uang pas aja?" dan laki-laki itu menggeleng. "Kalo gitu ini uang dua ribu saya kasih ke mbak sama mas aja ya, bagi dua" ucap si bik Inah dan kami saling berpandangan.
"Tapi aku sama dia nggak saling kenal bik" Ucapku protes.
"Saya kira kalian ini pacaran. Yasudah, kalau gitu tunggu ya, saya tukarkan dulu" ucap bik Inah.
"Nggak usah bik, uangnya untuk dia aja" ucap laki-laki itu
aku berkata "nggak jadi deh, buat kamu aja" jawabku.
"Yaelah, aku nggak mau ada hutang dengan kamu" jawab laki-laki itu.
"Kamu pikir aku mau ngutangin kamu? lagian aku juga nggak mau ada hutang dengan kamu" ucapku nggak kalah nyolot. Si bik Inah jadi pusing sendiri melihat kami berdua. Untunglah pada jam segitu, warung bik Inah nggak begitu rame.
"Mbak... mas .... sedekah nya" ujar seorang anak dan akhirnya kami berdua memberikan selembar dua ribu itu ke anak kecil itu.
***************************************************************************
Siang itu, di kantin kampus, sehabis praktikum aku menceritakan kejadian semalam pada Rina dan ia hanya terkekeh mendengar ceritaku yang konyol. Rina tak habis pikir untuk hal yang sepele itu aku sampai rela ribut dan dilihatin beberapa pasang mata. "Tapi Na, sumpah aku nyesel banget ngeliat dia kemaren. Kalau nggak lihat, nggak bakal ada keributan yang nggak penting itu" ucapku dengan menggebu-gebu. Rina lagi-lagi hanya tertawa kecil.
"Aaaa... gila... ternyata dia mahasiswa disini juga, aduuuh kenapa ketemu lagi" omelku saat melihat sosok yang membuat aku sebal semalaman dan Rina yang sedang berada di hadapanku menoleh ke belakang.
"Yang mana?" tanya Rina penasaran. Aku menunjuk laki-laki itu dengan bibirku yang di manyunkan "tuh.... yang pakai baju polo shirt belang-belang"
"Oooohh itu. Itu mah teman satu jurusan aku, Si Redho" ujar Rina dan aku hanya ber - Hah- kaget. Pantes saja pernah melihat wajahnya. Aku baru ingat, dulu ia pernah ke kosan Rina untuk meminjam catatan waktu itu aku hanya melihatnya sekilas. "Anaknya emang jahil gitu, tapi baik kok. Mau aku jodohin?" ucap Rina nakal aku mencubit lengannya kuat-kuat dan Rina mengaduh cukup keras "kalau nggak mau biasa aja dong, sakit tahu" Ucap Rina kesal. Aku cuma nyengir.
***************************************************************************
Sore itu aku pulang telat banget, ada urusan mendadak yang harus aku kerjakan bersama kedua temanku di lab. Sore itu hujan turun dengan sangat deras. Kedua temanku sudah pulang duluan, tadinya aku ditawarin bareng, tapi aku menolak karena aku pikir hujan sebentar lagi akan reda, sebab, saat aku berkata begitu, hujan hanya turun rintik-rintik. Di tengah perjalanan hujan tiba-tiba turun dengan deras. Akhirnya aku berteduh di dekanat. Aku lupa membawa payung.
"Udah jam lima, mana hujan, ya Tuhan, udah tahu musim penghujan, payung lupa aku bawa pula" aku menggerutu di tengah kerasnya suara hujan. Kini aku meratapi nasibku sendiri.
Seseorang dengan motor bebeknya melintas di depan dekanat dengan kecepatan cukup tinggi, namun tiba-tiba putar balik dan memarkirkan motornya tepat di hadapan aku berdiri. Aku berpikir, 'siapa gerangan orang ini. Apa dia putar balik demi aku? Ah nggak mungkin, siapa aku.' gumamku dalam hati. Setelah ia membuka jas hujan dan helmnya aku kaget, ternyata dia Redho. Orang yang aku umpat-umpat beberapa hari yang lalu.
"Kenapa sendirian di sini?" tanyanya dan mengambil posisi di sebelahku, berdiri sambil bersedekap.
"APA? NGGAK DENGAR" teriakku. Memang di saat Hujan lebat seperti saat ini, volume suara normal akan kalah dengan volume suara hujan, sehingga aku meminta mengulangi ia mengucapkan perkataannya.
"KENAPA SENDIRIAN DI SINI" ucapnya dengan volume suara yang besar membuat aku kaget.
"NGGAK SE GEDE ITU JUGA KALI. BUKAN URUSAN KAMU AKU MAU NGAPAIN DI SINI" jawabku ketus.
"terus aja ketus, Masih untung aku temani" ujar laki-laki itu dan aku tertegun mendengar ucapannya. Kali ini meskipun ia mengucapkannya dengan suara tidak sebesar tadi, namun aku bisa menangkap ucapannya yang terdengar sayup-sayup.
"temani?" tanyaku heran.
"APA?" tanyanya balik dan aku menggeleng kemudian terdiam "Aku nggak tega aja lihat kamu sendirian di sini" ujarnya dan aku mendengar jelas apa yang diucapkannya, namun yang terlontar dari mulutku hanya "Hah?"
Dia berbalik menggeleng "lupakan" ucapnya. Setengah jam kami berdua berdiri di teras dekanat. Menanti hujan berhenti. Lima belas menit awal kami hanya diam kemudian karena risih dengan keadaan yang saling diam, aku memulai pembicaraan basa-basi. Tadi kuliah dari jam berapa? kuliah apa? dan sebagainya. Sampai membahas Rina. Tapi tidak satupun yang saling menanyakan nama.
"Eh iya.. kayaknya hujan udah reda, aku pulang sekarang aja deh, makasih ya udah temani" ucapku dan aku pergi meninggalkan laki-laki itu.
"Jadi kamu nggak menghargai aku dan anggap aku ada di sini nih?" ucap Redho dan membuat aku menghentikan langkahku, berbalik arah "Hah?"
Redho berlari kecil ke arahku "Aku ada di sini. Motorku juga. Untuk apa dari tadi aku ada di sini, sementara kamu pulang masih jalan kaki?" tanya Redho dan aku cuma berkata "Hah?"
"Jangan kebanyakan Hah... hah.... Yasudah, ayo kita pulang bareng" ajak Redho. Aku yang masih ragu "masih ragu dengan aku? Nggak bakalan aku culik kamu, ngapain, rugi yang ada" ucapnya dan aku menggembungkan pipiku pura-pura ngambek "kamu kira kamu menggemaskan kayak gitu. Haha. Ayo naik" ucapnya dan aku menerima tawarannya.
Sepanjang perjalanan nggak terlalu banyak pembicaraan yang terjadi hanya pertanyaan formal "kosan kamu di sebelah kosan Rina itu kan?" tanyanya dan aku menjawab "APA NGGAK DENGER" ucapku dan Redho menutup telinga nya sebelah.
"Aduh buset ini anak, teriak-teriak mulu. Bisa budeg nih. AKU NANYA, KOSAN KAMU YANG DI SEBELAH KOSAN RINA ITU KAN?" jawabnya nggak kalah kenceng dan aku hanya tertawa "haha.. iya... kok tahu?" tanyaku balik.
"Aku waktu itu lihat kamu waktu aku pinjam catatan Rina" jawabnya dan aku ber-oh pendek.
"Udah nyampe Chika" ucap Redho dan ak turun dari motor dengan ekspresi kaget. "Hah?" ujarku dan Redho tertawa geli "lagi-lagi kamu cuma bisa bilang hah... hah... , kenapa lagi?"
"kamu tahu namaku?" tanyaku dan Redho tertawa.
"Bodoh! Iya, aku tahu nama kamu. Waktu itu Rina teriak-teriak panggil nama kamu meminta tolong angkat dulu telepon masuk di hape , nggak berapa lama kemudian kamu nongolin kepala bilang itu telepon dari mama nya Rina' cerita Redho. Aku cuma cengar-cengir. Aku nggak pernah ingat kejadian itu dan Redho malah inget sampai se detil-detilnya. Hebat.
"Oh ya... namaku Redho" ucapnya sambil mengulurkan tangan dan aku mengulurkan tanganku "Aku udah tahu, haha. Namaku Chika" jawabku dan kini Redho yang bingung. "Aku dikasih tahu Rina beberapa hari yang lalu, waktu itu lihat kamu melintas di kantin, terus Rina bilang, itu teman satu jurusan aku, namanya Redho" ceritaku dan Redho ber-oh pendek.
"Yaudah, aku pulang dulu ya" ujarnya.
"Thanks anyway" ucapku dan Redho tersenyum.
***************************************************************************
Nggak nyangka. Pertemuan awal yang tidak mengenakan, dilanjutkan dengan kisah di bawah rinai hujan dan sampai sekarang menjadi teman baik. Redho yang ternyata teman sepermainan Rina di fakultasnya, sering ke kosan Rina untuk pinjam catetan ataupun mengerjakan tugas.
"Na, aku ke depan dulu ya, mau beli nasi goreng, udah lama banget nggak makan nasi goreng bik Inah" ucapku pada Rina dan Rina mengangguk.
"Sendiri?" tanya Rina dan aku mengangguk dengan pasti.
"Aaaahh... aku juga lapar nih, makan dulu aja lah" ucap Redho tiba-tiba. Rina dan Bagas kaget mendengar Redho ambil suara kemudian mengangguk sambil senyum-senyum. Mereka merapikan kertas-kertas yang berserakkan dan segera menyusul aku.
"Ka, kami ikut" ucap Rina dan aku cuma tersenyum.
"Kita naik motor aja. Rina sama Aku, Chika sama Redho" ujar Bagas dan disusul dengan anggukan setuju Rina. Akupun menyetujuinya dan kami menuju ke tempat penjualan makanan. Di lokasi Rina dan Bagas memilih untuk menyantap soto mang Deden, sementara aku dan Redho memesan nasi goring.
"Bik, nasi goreng spesial nggak pedas satu, terus nasi goreng spesial pedas nggak pakai telornya satu, sama es teh nya dua" ucapku pada bik Inah.
"kok kamu tahu pesanan aku, kamu ngikutin aku ya?" ujar Redho penuh curiga dan aku mencibir nya. "huuu... ge er" ujarku.
"Eh... ini mas sama mbak yang berantem gara-gara uang dua ribu kemaren ya? wah sekarang udah akur?" tanya bik Inah. Kami berdua hanya tertawa dan meninggalkan bik Inah asyik dengan masakannya. Kami mengambil tempat di tengah-tengah warung persis saat kami bertemu dulu.
"Ada yang mau aku tanyain deh dari kemaren-kemaren. Kenapa kamu selalu pesan tanpa telor? bukannya kalau pake telor nasi gorengnya jadi tambah enak?" tanyaku pada Redho dan ia hanya menampakkan senyuman di bibirnya. Diam "kok diam aja?" tanyaku.
"Seperti yang kamu lakukan dulu, pas aku tanya, apa enaknya nasi goreng itu nggak pedas, haha" ujarnya dan aku menggembungkan pipiku.
"nggak lucu" jawabku dingin.
"Awas, nanti kita kayak dulu. Ngeributin hal yang nggak jelas" ujar Redho sambil cekikikan.
"Abisnya kamu sih" jawabku masih dengan nada merajuk dan Redho malah gemas melihatku kemudian mengusap-usap kepalaku seperti anak kecil. "Apaan deh ini usap-usap" gumamku.
"Karena aku alergi sama telor sayang, makanya selalu pesan tanpa telor" jawabnya.
"sayang?" tanyaku dan mataku mendelik. Tapi tiba-tiba dalam hati deg-deg an.
"Haha... apa salahnya aku panggil kamu sayang? sayang nggak harus selalu dalam artian pasangan" jawabnya seenaknya.
"Yah... tetap saja, kalau yang lain dengar pasti beda" jawabku.
"Nasi goreng pesanan mbak sama mas datang" ujar bik Inah. Kami berdua mengucapkan terima kasih kemudian melanjutkan obrolan.
"Kalau memang beda?" tanya Redho tiba-tiba. Terdengar pelan namun jelas. Detakan jantungku berirama lebih kencang. Aku ini kenapa?
"Hah?" tanyaku kaget.
"ini anak kebanyakan hah nya... sudah makan aja tuh pesanan. Sekarang aku mau nanya, kenapa kamu nggak suka pedas?" tanyanya padaku dengan mulut berisi dengan nasi.
"Sebenarnya aku suka pedas, tapi jangan terlalu pedas. Aku bermasalah dengan pencernaanku" jawabku. Sekarang aku tak berani menatap laki-laki itu. Tiba-tiba saja tiap menatapnya, jantungku selalu berdetak tak karuan. Lebih baik aku menunduk.
"Sejak kapan kamu suka nasi goreng bik Inah?" tanya Redho, memecahkan keheningan di antara kami berdua.
"Sejak aku memutuskan untuk mencicipi semua makanan yang ada di area ini dan aku temukan, nasi goreng yang terenak, ya disini. Lagian aku suka nasi goreng" jawabku tapi tetap. Kepalaku masih menunduk.
"kenapa bicaranya nunduk gitu?" tanya Redho dan aku menggeleng.
"Nggak kenapa-kenapa, aku lagi makan" jawabku.
"Kamu kenapa suka makan disini?" tanyaku balik.
"Sama... karena aku suka nasi goreng, hampir di semua penjual nasi goreng di sekitar area ini aku cicipi nasi gorengnya, tapi yang enak cuma di sini" jawabnya dan aku ber-oh pendek.
"cuma itu?" tanyanya lagi.
"Apaan?"tanyaku balik.
"Responnya" jawabnya lagi.
"Oh... abis mau aku jawab apa dong?" tanyaku lagi.
"jawab apaan kek. Yang panjangan sedikit. Jangan cuma Hah oh Hah oh mulu" protesnya.
"Ih... protes mulu, dasar cowok aneh!" umpatku dan Redho lagi-lagi cuma ketawa. "Apa-apaan ini. Ketawa mulu"
"lah suka-suka aku lah. Haha. Makin suka lihat kamu cemberut kayak gini" ujarnya spontan kemudian berhenti "oops... maaf. Bercanda" lanjutnya. Aku sempat dibuatnya deg-deg an dengan ucapannya, tapi dipatahkan begitu saja.
"Kecewa" jawabku lirih. "APA?" tanyanya cukup keras dan aku kelabakan sendiri kemudian menggeleng "ah payah" ucapnya dan meletakkan sendok dan garpunya dalam keadaan terbalik, tanda ia menyudahi makan malamnya.
***************************************************************************
Di awal bulan agustus yang tak bersahabat, aku berjalan gotai mengitari blok di taman kampus. Tidak tahu tujuan dan pikiranku benar-benar kacau. Kabar yang aku terima semalam berhasil membuat aku menggalau dan meracau. Aku juga tidak tahu mengapa perasaan ini menjadi tak beraturan seperti ini. Semalam, aku mendapat pesan dari Redho, kalau ia jadi mengambil studi keluar negeri, setelah ia dinyatakan lulus di salah satu universitas ternama di Jepang. Mungkin karena kedekatan yang terjalin selama ini membuat aku takut berpisah dengan nya, takut untuk kehilangan dia. Aku dan dia memang hanya sebatas sahabat, namun perasaan yang aku bina selama ini, melebihi itu. Aku baru menyadarinya ketika ia menyatakan untuk mengejar apa yang ia cita-citakan itu.
"Chika" teriak seseorang dari kejauhan. Aku menoleh ke sumber suara yang aku tahu itu pemilik suara yang nantinya pasti akan aku rindukan kehadirannya. Setelah melihat sosoknya, aku hanya menunduk dan aku tak ingin menatapnya lebih lama, semakin lama aku menatapnya semakin sulit aku merelakannya ia pergi.
"Chika, kamu kenapa?" tanyanya. Setelah berlari kecil dan berhasil mengimbangi langkahku. Aku menggeleng dan Redho berhasil menghentikan langkahku. Ia menarik daguku hingga kini kami berdua saling bertatapan, namun aku segera menginstruksikan mataku untuk menatap ke bawah. Aku rasa itu lebih baik.
"Kamu habis nangis ya?" tanyanya. Ia melihat mukaku yang sembab, mata yang bengkak. Ketahuan kalau aku habis menangis semalam. "Ternyata kamu takut kehilangan aku juga, aku kira cuma aku sendiri yang merasakannya" ucap Redho. Lagi-lagi aku cuma berkata "Hah?"
"Bodoh! Selalu saja kamu ucapkan kata-kata itu. Yang mengisyarakatkan kamu itu nggak pernah tahu apa-apa"Ucapnya sambil terkekeh kecil "aku akan berangkat besok" ucapnya dan itu membuat airmataku mengalir kembali. "Udah nangisnya, jangan cengeng gini. Nanti aku ikutan nangis" ucapnya dan ia menyeka airmataku dengan tangannya.
Sebelum aku berangkat, aku cuma ingin kamu tahu satu hal, kalau selama ini aku sayang sama kamu. Kamu benar waktu kita makan di warung Bik Inah untuk yang kedua kalinya. Awalnya aku cuma iseng panggil kamu begitu. Hehe. Tapi ternyata, ada perasaan yang berbeda. Bukan cuma anggapan orang yang beda. Perasaan aku juga ikutan beda. Selama ini aku bodoh, nggak manfaatin waktu-waktu aku bersamamu. Waktu yang aku punya bersama kamu cuma aku pakai untuk memastikan perasaan aku ke kamu, perasaan kamu ke aku. Hanya karena aku takut dengan sebuah penolakkan. Tolong, untuk kali ini jangan berkata hah" ujar Redho panjang lebar yang awalnya inginku sambut dengan kata hah, pada akhirnya tidak jadi karena aku mengerti maksudnya.
"Iya Dho, kamu bodoh. Sebodoh-bodohnya aku ternyata kamu lebih bodoh" ucapku dan Redho menjitakku pelan.
"Sial, malah diiyakan. Jadi, aku diterima apa ditolak nih?" tanya Redho dan aku lagi-lagi mengucapkan "Hah?" Redho gemas melihatku. Sekarang aku tidak melihat ke bawah lagi tapi sudah menatap Redho. Menatapnya dalam.
"Awas Lihatin aku segitunya, nanti naksir. Haha. Eh? Emang udah naksir aku dari dulu kan ya?" ucap Redho nakal dan aku mencubit lengan Redho sekuat-kuatnya "Jahat. Besok aku pergi, malah kamu aniaya" ucap Redho pura-pura ngambek dan aku malah merengut, kembali bersedih.
"Mukanya jangan dilipat gitu. Jadi aku ditolak atau diterima nih cintanya?"
"Ditembak aja belum" ucapku dan Redho lagi-lagi menjitakku pelan "Apa sih nih, dijitak mulu. Ntar bodoh beneran" ujarku sebal.
"Aku nggak bisa puitis" Gumam Redho. "Yaudah... coba kamu lihat ini aja deh" ucapnya lalu menarikku ke sebuah pohon dan disana ia telah mengukir namanya dan namaku. Aaaahh... ini lebih so sweet, nggak perlu puitis jeritku dalam hati.
"Apaan nih aku nggak ngerti" ujarku pura-pura dan Redho menghela napas "Susahnya ngomong sama kamu" jawabnya dan aku tertawa kecil.
"Yasudahlah, nggak jadi aja lah. Kecewa aku sama kamu. Ternyata selama ini aku salah duga" ujar Redho dengan kepala ditekuk.
"Kamu nggak salah duga kok Dho, aku juga sayang sama Redho" jawabku pelan. Seketika Redho mendongakkan kepalanya dan memelukku erat. Kegirangan. "Dho.... kataku ini lebay" Ucapku dan hampir sesak napas karena eratnya. Redho melepaskan pelukkan itu.
**************************************************************************
"Ohaiyo gozaimasu dear" ucap suara di sebrang sana.
"Selamat pagi, cinta" balasku sambil tersenyum. Ini adalah telepon pertama dari Redho sesampainya ia di Tokyo. Wajar kalau aku begitu girangnya.
"Kamu akan selalu menjadi nasi goreng spesialnya bik Inah" Ujarnya.
"Hah?"
"Aku kangen dengan kebodohanmu saat mengucapkan hah. Haha. Kamu tahu, nasi goreng spesialnya bik inah selalu ngangenin. Sama kayak kamu. Tapi sekarang, nasi goreng spesialnya gak pake pedes. Soalnya bagi aku, kamu itu selalu spesial bagi aku, tapi karena nggak ketemu, ada sesuatu yang hilang, gregetannya itu lho" ujarnya.
"Halah kamu, pagi - pagi udah gombal. Berarti kamu itu sekarang ibarat nasi goreng spesial nggak pake telor. Soalnya bagi aku, nasi goreng itu nggak enak kalau nggak pake telor. Jadi di saat kamu lagi nggak ada kayak gini, serasa ada yang kurang"
"Perumpaan macam apa itu?" tanyanya
"Kamu yang mulai duluan. Belajar yang rajin yah. Biar cepet pulang ke Indonesia"
**************************************************************************
Oleh : Shelvia Chalista
nb : cerita ini request dari orang yang katanya spesial wkk *_*v
kata-kata 'spesial itu' yang tiba-tiba membuat aku jadi buat judulnya kayak gitu *lagian aku laper kepengen makan nasi goreng (?)
Sorry kalau ceritanya masih nggak sesuai request. Belum romantis, belum bikin geregetan, nggak ada humornya dan sedihnya juga kurang.
Semoga nggak mengecewakan
Comments
Post a Comment