cerpen : Everything Is Possible

Siang yang terik, benar-benar menggerahkan. Berulang kali aku mengibas-ngibaskan kipas yang aku pegang dan aku sekarang berdiri tepat di bawah kipas angin. Aku yang alergi udara panas mulai merasa gatal di lenganku. Aku memperkuat tenagaku untuk berkipas ria. Sepertinya hari ini, tepatnya siang ini akan turun hujan. Tapi kenapa lama sekali turun hujan? Butuh hujan sekarang! Begitulah omelanku dalam hati. Aku terus mengumpat dalam hati.
Tanpa aku sadari ternyata rombongan siswa laki-laki tiba di kelas. Mereka baru saja menunaikan ibadah shalat dzuhur dan kelas kembali riuh yang sebelumnya cukup tenang. Tanpa kusadari pula, sesosok tubuh manusia berdiri di belakangku. Tanpa berdosa ia mencubit pipiku. “Awwww….” Ringisku, dan aku melepaskan cubitan itu dan membalikkan tubuhku. Hampir saja wajahku mengenai wajahnya, kalau saja ia tak mengelak.
“Randi?” kataku dengan nada sedikit meninggi. Aku kesal. Tiap hari aku diperlakukan seperti anak kecil olehnya. ‘aku ini SISWI SMA, kelas DUA pula. Don’t TREAT ME like this’  Kata-kata itu pernah aku lontarkan padanya dan dia tidak mengacuhkan sama sekali. Ia hanya nyengir kuda, merasa tidak terjadi apa-apa. Sungguh tidak berperasaan. Miris. Kini aku hanya mencoba pura-pura ngambek dengan memanyunkan bibirku.
“Apa Yang? Ihh…. Kamu tambah ngegemesin kalau seperti ini…” katanya lagi dan sekali lagi dia mencubit pipiku dan aku menepisnya. Sukses dan berhasil. “udah dong Ran… sakit tau, cari kerjaan yang lebih penting dan bermutu ketimbang harus melakukan hal konyol seperti ini” ujarku penuh nasihat.
Randi hanya tersenyum “lagi gak ada kerjaan nih Yang” jawab Randi asal. Aku pergi meninggalkan Randi dan aku menuju bangkuku ‘Randi is the most abominable boy, and he has gotten insane high stadium, and it’s too hard for someone to heal him, maybe you can kill him, and it’s over’ yaa… mungkin itu kata-kata yang pas untuk menggambarkan perasaan seorang aku. Riang. Mungkin aku terlalu berlebihan, hanya itu saja aku harus emosi. Tapi sialnya, beragam kejahilan lain yang mungkin ‘out of your mind guys’ sudah menjadi separuh hidupku, dan aku merasa sangat bosan dengan hal itu.
Teng…teng…teng…
Bel berbunyi tiga kali, pertanda istirahat selesai dan dimulai kembali pelajaran yang tingkat kesulitannya semakin tak terjamahkan dan sungguh, aku merasa aku mengonsumsi materi yang sebenarnya bukan porsi untuk anak kelas Dua SMA, tetapi untuk mahasiswa S2. Penderitaan seorang Riang, tidak cukup sampai disitu saja, teman yang selama ini berada di sampingnya (teman sebangku.red) adalah Randi. Iya, Randi lah yang mengisi bangku itu dan menemaniku sepanjang hari. Itu sebabnya aku mengatakan bahwa kejahilannya adalah pengisi hari-hariku.sungguh malang.
Tiba-tiba sekelas hening dan semua siswa dengan rapinya duduk di bangku masing-masing tanpa ada seorangpun yang berani mengeluarkan sepatah katapun. Iya… Mr. Jarwo memasuki kelas. Seorang guru yang sangat keras, idealis, berprinsip, disiplin, tegas dan segalanya yang menggambarkan bapak ini seolah-olah adalah guru yang kejam, oke halusnya, teman-teman mengatakan killer. Lihat saja dari gurat wajahnya dan bagaimana cara ia melangkah, sungguh jelas sekali bahwa bapak ini lama sekali mengajar di sekolah militer. Ia lah guru Fisika kami.
“salam” ucap ketua kelas. “Assalamu’alaikum warrahmatullahiwabarakatuh” Ujar seisi kelas dengan posisi yang masih sangat rapi. Pria itu menjawab salam kami.
“wa’alaikum salam warahmatullahiwabarakatuh, seperti yang pernah saya janjikan, hari ini ulangan fisika untuk bab tiga dan empat, silahkan kalian persiapkan segalanya. Saya mengambil soal, kurang dari lima menit” bapak tersebut berkata tanpa dosa. Oke,Janji? kapan? Kapan bapak itu berjanji pada kami kalau hari ini ulangan? Setahuku, minggu lalu itu beliau menyebutkan bahwa hari ini adalah jadwal praktek dan lusa baru ulangan itupun untuk bab 2.
Get success, thanks a lot to Andha yang dengan gagah berani menyampaikan aspirasi kami. Sekali lagi itu berlebihan.  Tapi sungguh, pak Jarwo bisa menyadari kekhilafannya dan membatalkan segala ulangan dan para jajarannya. Bel tanda usai segala pelajaran memang telah berakhir dua jam yang lalu. Tapi aku tetap saja berada di lingkungan sekolah, di ruang Osis bersama teman-temanku. Mengerjakan surat-surat yang harus segera dirampungkan, membuat pembukuan dan yang lainnya. “Benaran Yang, kamu tidak ada perasaan apapun terhadap Randi?” Tanya Rischa dengan pertanyaan yang sudah biasa kudengar dan tidak asing lagi. “ha?” ucapku lugu. Ekspresi tidak tahu apa-apa.
“sudahlah Yang, akui saja semua perasaan itu, toh, Randi juga tampaknya ada hati sama kamu, Cuma… Karena lihat kamu galak setiap hari sama dia, jadinya dia enggan menyatakan perasaannya padamu, iya gak Jean?”sambung Rischa dan meminta dukungan dari Jeanet dan Jean mengangguk. “you’ll be disappointed when you look he hold another girl or he didn’t with you again because of something else. More than you, or maybe, less than you, and you never get chance again” nasihat Rischa padaku dan aku terpaku ‘apa benar semua ini?’ tanyaku dalam hati.
We’ll see letter, I don’t know” jawabku sekenanya lalu aku pergi meninggalkan ruangan tersebut “ I must go now, just now, my mom called me, see you guys!” aku menuju parkiran dan segera pulang, menyegarkan tubuh kembali ‘apa yang ada di benak mereka, mengapa semua harus membahas masalah ini? They don’t know anymore, perhaps, they never know. Aku melupakan masalah ini dan enggan ambil pusing. Semua tidak ada arti semenjak saat itu. Ya, semenjak semuanya ingin aku lupakan dan semua tidak ada artinya lagi.
“Jadi kamu sudah menikah lagi mas? Tega kamu… tega! Belasan tahun kamu bohongi aku, dan sekarang kamu baru bilang? Kenapa tidak dari dulu saja, jadi kita tidak usah susah payah mempertahankan semuanya, aku tahu mas, aku serba kekurangan. Kalau begitu, sekarang kamu pergi, PERGI!” usir seorang wanita paruh baya. Usianya tidak lebih dari empat puluh tahun. Masih terlihat cantik. Ialah Bibi Juwita, yang dari dulu kupanggil dengan sebutan Bunda. Beliau mengadopsiku semenjak aku berusia tiga tahun dari panti. Hingga kini aku tak tahu siapa orangtua kandungku. Siapapun mereka, aku tetap mencintai mereka, karena telah membuatku hadir ke dunia ini.
Terlihat beliau lemah tak berdaya. Menerima segala kenyataan pahit, bahwa, om Bayu, yang juga kusapa dengan sebutan ayah sebenarnya mempunyai seorang istri lagi, dan wanita itu ialah ibundanya Randi. Bagaimana tidak pedih, bunda yang selama ini merasa ayah adalah seorang suami yang setia, yang mau menerima bunda walaupun tidak dapat memberikan keturunan ternyata adalah seorang pengecut. Tidak tanggung-tanggung, ayah punya tiga orang anak dari tante Bilqis, nama ibunda Randi itu. Bunda terus menangis dan selama lima hari beliau mengurung diri di kamar, tanpa makan dan minum, hatinya begitu hancur dan akhirnya bunda harus di opname selama dua minggu.
Aku begitu hancur melihat kondisi bunda, meskipun bunda bukan ibu kandungku, tapi aku menyayanginya sepenuh hatiku. Aku tidak mau melihatnya terluka, dan karena itu, mulai detik itu, aku benci Randi dan keluarganya begitu juga ayah.
“assalamu’alaikum, …. Bundaaa” salamku dan berlari ke dapur menemui bunda. Ternyata beliau sedang memasak untuk nanti malam, tumben sekali beliau pulang cepat, aku rindu sekali dengan masakannya. Aku mencium dan memeluk bunda sembari berkata “bunda tumben pulang cepat? Hmmmm… aroma yang lezat, masak apa bunda?” aku melepaskan pelukan dan membantu mengaduk masakan.
“ayam kecap kesukaan kamu dong sayang… bunda malam ini harus pergi ke Surabaya untuk seminar, kamu tidak apakan tinggal sendiri?”Tanya bunda sambil memotong selada dan daun seledri. Aku menghela napas. Ya, semenjak bunda mengusir ayah dari rumah, semuanya jadi bunda yang tanggung, sampai biaya sekolahku. Untunglah beliau adalah wanita mandiri, dan tidak bergantung pada suaminya. Sebenarnya ayah adalah sosok yang penyayang, peduli dan bertanggung jawab. Ayah rutin mengirimkan biaya hidup untuk kami. Tapi selalu bunda tolak dan mengembalikan semuanya.
“hhmmm… pantas saja baunya lezat! Ucapku, sambil mengaduk-aduk masakan. “ Aduh Riang, kamu ganti pakaian dulu sana, habis itu kita makan, kamu udah lapar kan?” bunda menyuruhku pergi dari dapur untuk berganti pakaian. Sungguh hari yang melelahkan.

“RANDIIIIII! Jauh-jauh gih dari aku! Aku bosan lihat tingkahmu! Husshh… husshh!” kataku kesal. Pagi buta sudah mendapat hadiah dadakan dari Randi. Maksudnya, apalagi kalau bukan kejahilan. Pagi-pagi buta, dia sudah mencari masalah. Dengan menjambak rambutku. Sungguh, kelakuan yang terlalu kekanak-kanakan.
“habisnya kamu sih, dari tadi aku ajak ngomong nggak direspon. Aku mau curhat Riang” Kata Randi yang juga mulai kesal. Oke, tadi itu memang Randi dari tadi sudah grasak-grusuk agar aku mau mendengarkan curhatnya. Dulu, sebelum aku tahu Randi itu anaknya tante Bilqis hubungan kami tidak seburuk ini, malah dibilang, harmonis. Sungguh. Randi sering curhat ke aku, begitu juga aku. Kami saling peduli. Tapi sekarang, aku tidak mengerti kenapa Randi masih saja ingin curhat padaku, padahal, jangankan curhat, untuk mengharapkan dia ada di sekitarku pun tidak. Sepertinya Randi tidak tahu bahwa aku ini anaknya bunda. Kalau dia tahu, pasti ia akan berbuat sepertiku. Tetapi Randi tidak pernah ingin cari tahu apa yang terjadi dalam keluarganya. Sungguh anak macam apa dia itu.
“ kamu kok nggak pernah mengerti sih? Berulang kali aku bilang, aku nggak mau dengar apapun tentang kamu bahkan kalau bisa, aku nggak mau lihat kamu lagi!” jawabku. Ucapan itu dengan mudahnya terlontar dari mulutku.
“kalau begitu pindah saja kamu dari bangku ini. Tuh, masih banyak bangku lain. Kamu benar-benar berubah menjadi seorang yang menyebalkan!”balas Randi. Dia emosi. Tetapi mungkin tidak terlihat. Dia tidak bisa marah padaku. Untuk membentakku saja dia enggan. Itu hanya padaku. Aku tidak tahu alasannya mengapa. Ada sesuatu yang unik dari sosok seorang aku. Ya, kenapa aku tidak pernah bisa mencari bangku lain, di sebelah Rayyan misalnya dan aku malah tetap mempertahankan diriku untuk tetap duduk di sebelah Randi. Dengan langkah yang berat aku membereskan barang-barangku dan pindah ke sebelah Rayyan yang kebetulan kosong. Ini awal hidupku tanpa Randi di sebelahku. Ini awal dari hidup damaiku.
Seperti biasa, aku pulang lebih lama dari teman-temanku. Urusanku terlalu banyak di sekolah, terkadang aku jenuh tetapi aku menikmati kejenuhan itu. Ada perasaan yang masih mengganjal di hatiku. Entah karena apa. Mungkin karena kejadian tadi pagi atau karena tugas ini terlalu banyak. Entahlah. Hari ini aku pulang menggunakan bis. Hampir setengah jam aku berdiri di Halte sendirian. “Nusa Indah…Nusa Indah yoo” seru kenek bis dari kejauhan. Aku menghela napas lega dan segera menaiki bis itu lalu duduk di bangku belakang kebetulan kosong.
Hampir saja aku ketiduran di bis ini. Untunglah ada mas yang baik mengingatkan aku agar tidak tidur di tempat ini. Akhirnya aku tiba di depan kompleks. Aku turun dari bis. Rumahku, bloknya tidak jauh dari pintu gerbang kompleks. Sehingga aku tidak terlalu merasa lelah untuk tiba di rumah. Dari kejauhan aku melihat mobil Jean bertengger di depan pekaranganku “Jean? Tadi katanya mau ngantar maminya ke supermarket, tetapi kenapa dia ke rumahku?” tanyaku bingung. Aku menapaki pekaranganku dan menuju teras “okelah kalau begitu tante, terima kasih ya, jangan lupa datang ke rumah tan, mami kangen” kata Jean, dan Bunda hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu melambaikan tangan pada gadis manis itu.
“eh, kamu udah pulang Yang” Jean berkata dengan ekspresi setengah terkejut melihat aku kini berada di hadapannya.
“ada apa kemari Jean?”
“ohh… anu, itu, aku disuruh mami mengantarkan undangan. Besok kan kak Tanti tunangan”jawab Jean setengah gugup dan aku mengangguk mengerti “oh iya, aku harus balik, sampai jumpa besok di sekolah, daahh” buru-buru Jean membuka pintu mobilnya dan menekan gas. Lalu mobil Honda jazz silver itu berlalu dari hadapanku.
“Riang… kenapa lama sekali pulangnya?”Tanya Bunda saat aku menuju teras rumah. “Biasa Bun, urusan Osis” jawabku singkat lalu mencium tangan bunda dan masuk ke dalam rumah.

“Bunda mau Tanya sama kamu, apa kamu teman sekelasnya Randi?”Tanya Bunda saat di meja makan. Aku yang sedang asyik mengunyah tiba-tiba tersedak dan aku langsung menyambar gelas yang ada di sebelahku dan meneguknya. Setelah merasa cukup tenang kemudian aku mengangguk pelan dan mencoba meneruskan makanku.
“seberapa dekat kamu dengan dia?”Tanya bunda lagi. Aku langsung menahan sendok yang sedikit lagi masuk ke mulutku dan meletakkannya kembali ke piring.
“huff… tidak dekat. Bahkan sangat buruk. Kenapa Bun?”
Bunda juga meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan mulai berbicara “kenapa bisa memburuk? Bukannya kamu itu teman dekatnya Randi?”
“tidak untuk hari ini dan untuk selamanya”
“apa ini ada hubungannya dengan bunda?” Tanya bunda. Malam ini bunda agak aneh. Menginterogasiku dengan pertanyaan yang tidak penting sama sekali. aku yakin, pertanyaan ini pasti ada hubungannya dengan kehadiran Jean ke rumah. Bicara apa saja dia ke bunda? Lagi, aku hanya bisa mengangguk. Namun kini ragu.
“Bunda sudah menebaknya. Kenapa kamu bersikap seperti itu padanya? Seharusnya kamu tidak harus seperti itu. Bunda saja tidak ada menyimpan sedikitpun rasa dendam pada mereka. Lagi pula, tidak baik Yang, membohongi hatimu terus menerus. Bunda tahu, kamu sayang sama dia”bunda mengeluarkan kata-kata sungguh mengejutkan. Aku yang kembali menyantap makananku hampir saja kesedak sekali lagi. Untunglah kali ini aku dapat menguasai diri.
“Kalau bunda tidak dendam, kenapa bunda tidak memaafkan ayah? Kenapa bunda membiarkan ayah untuk tinggal bersama tante Bilqis? Lagi pula aku tidak suka sama Randi bun…”jawabku tiba-tiba berubah menjadi gugup dan segera mengambil gelas di sebelahku dan minum.
Bunda menatapku tajam “Riang sayang… bunda tahu kok perasaan kamu. Jangan kamu kira selama ini bunda nggak tahu kalau kamu ada rasa sama Randi. Kamu inget? Dulu itu kamu sering sekali cerita bagaimana Randi. Bahkan hampir setiap hari. Bunda memaafkan ayah, tapi bukan berarti bunda bisa terima lagi ayah di kehidupan bunda, masalah tante Bilqis dan anak-anaknya, bunda sama sekali tidak pernah marah sama mereka. Sebelumnya mereka tidak tahu juga tentang masalah ini dan kami sudah membicarakan ini semua”
“Hah? Kenapa aku tidak pernah tahu masalah ini bun?”
“Kirain kamu nggak pernah mau tahu. Jadi intinya, kamu harus berbaikkan dengan Randi dan kamu nyatakan perasaan kamu ke dia sebelum terlambat” saran bunda ngaco.
“Uhuk…uhuk…” aku tersedak.

Aku memikirkan kata-kata bunda semalam. Apa benar, aku harus berbaikkan dengan Randi? Bukan hanya karena masalah bunda alasan aku menjauhi Randi, tapi aku sudah geram melihat semua tingkah pola nya Randi. ‘Jadi… apa yang harus aku lakukan di kelas pagi ini? kembali menjadi teman sebangkunya Randi, dan bilang ‘maafin semua kelakuanku ya Ran… aku mau kita kayak dulu lagi’. Aku sudah merancang semua kata-kata yang aku ucapkan dan aku kembali duduk di tempat duduk aku semula. Ketika Randi datang, aku sudah siap dengan senyuman semanis mungkin, tapi ternyata semua rencana itu luluh lantak. Ia melihat sebentar di bangkunya dan kemudian meletakkan tasnya di sebelah Rayyan lalu ia keluar kelas. Kecewa? Sungguh.
Bukan itu saja, ternyata seharian ini, Randi bersikap manis, tidak jahil. Mungkin inilah sikap termanis yang ditunjukkan Randi selama ia menjadi temanku. Aku melihatnya hanya diam saat pelajaran. Jika ditanya guru ia menjawab dan selebihnya ia pergi ke… ke PERPUS. Iya ke perpus. Jarang banget seorang Randi mau nongkrong di perpus selama jam istirahat. Aku pikir, mungkin ia lagi kurang enak badan, jadinya kurang semangat atau kurang ceria begitu. Tetapi tidak, ia bersikap seperti itu sudah hampir seminggu. Sungguh, aku kehilangan sosok Randi yang dulu. Aku benar-benar menyesal.
“Eh, si Randi kenapa sih? Diam gitu, ya ampun, dia berubah banget tahu” Ucap Risya. Terdengar samar-samar. Saat ini aku sedang berada di kantin menyantap bakso kantin yang super lezat bersama dua sahabatku Jean dan Rischa.
“Sssssttt…. Kamu kalau ngomongin masalah ini jangan kenceng-kenceng” jawab Renata.
“Lho, kenapa?”
“Kamu nggak tahu, ini semua karena… dia” Jawab Renata berbisik sambil menunjuk ke arahku dan Risya mengangguk lalu keduanya pergi. Risya dan Renata adalah teman dekatnya Randi semenjak sekolah dasar. Mereka lebih mengetahui tentang Randi ketimbang aku. Tapi aku benar-benar kesal, kenapa Renata malah menuduhku sebagai penyebab berubahnya sikap Randi.
“Yang, sepertinya apa yang dibilang Rena itu ada benarnya, hmm… sebaiknya kamu bicara sama Randi dan berbaikkan, apa kamu tidak kangen dengan semua tingkah lakunya Randi yang kamu bilang menyebalkan itu?” kata Jean.
“Hah? Jadi kamu mendukung apa yang dibilang Rena tadi?” Tanyaku kaget. Jean dan Rischa mengangguk, sementara aku memanyunkan bibirku. “Sudahlah beib, hilangkan semua egomu itu” kata Jean sambil memukul pundakku pelan.

Sore ini aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman mencari inspirasi dan udara segar. Sekalian aku ingin melukis. Untunglah tugas-tugas di osis tidak ada sore ini. Jadinya aku bisa menyegarkan otakku, lagipula sudah lama aku tidak menyentuh kuas dan catku. Aku mencari tempat yang benar-benar cocok untuk sebuah inspirasi dan akhirnya aku menemukan tempatnya. Di bangku taman di dekat danau. Aku mulai melukis. Awalnya aku ingin melukis danau yang tampak indah itu. Tapi entah mengapa, tiba-tiba saja tanganku melukis dua orang pria tampan. Yang satu berwajah kebapakan dan yang satunya lagi adalah anaknya. “ini… ini… kenapa aku melukis ini?” tanyaku, lalu aku mencabut lukisan itu dan mulai melukis lagi. Sekali lagi aku menggambar sesosok laki-laki muda itu. dengan wajah yang sama.
“Aduh… aku ini kenapa… kenapa selalu ini yang aku lukis. Kenapa aku selalu melukis ayah ataupun Randi?” tanyaku pasrah.
“Karena kamu sayang dan cinta sama mereka berdua” sesosok manusia bersuara berat dan tampaknya bertubuh besar dariku sudah berdiri di belakangku dan sepertinya aku mengenalinya “Randi?”ucapku lirih kemudian aku menoleh ke belakang dan ternyata benar.
Ia tersenyum manis. Mungkin ini yang termanis yang pernah aku lihat semenjak dia berubah menjadi sosok yang dingin dan diam. “ Benarkan yang aku bilang barusan. Kalau kamu sayang sama mereka berdua. Bayu Setiadji Irawan dan Randi Yudha Irawan” ucapnya sekali lagi dan aku tertunduk malu. “Tolong bilang iya Yang, apa yang aku bilang tadi benar. Kalau kamu juga cinta sama aku” ia menggenggam kedua bahuku.
Juga? Apa dia bilang tadi, juga cinta? Aku terdiam. Masih menyusun kata di benakku. Lalu aku mendongakkan kepalaku, memberanikan diri menatap matanya “Apa maksud kamu Ran? Apa maksud kamu dengan kata-kata….”
“Dasar bego” Ucapnya lalu ia melepaskan genggaman itu dan berlari sedikit menjauh dariku. “Apa perlu aku berteriak Yang? AKU CINTA DAN SAYANG SAMA KAMU ! RIANG ADINDA IRAWAN” Teriaknya. Hingga suaranya menggema. Aku tersipu malu. Aku benar-benar tidak bisa berucap lagi. Ini benar-benar di luar dugaan. Aku tidak menyangka kalau Randi juga sayang sama aku.
Would you be my Princess?” Ucapnya lagi kali ini tidak dengan berteriak.
“Apa Ran, aku tidak dengar?”
WOULD YOU BE MY GIRL, MADEMOISSELLE?
I love you too Randi, yess, I would be” jawabku dan Randi kembali mendekat.
“Ulang lagi dong Yang, aku tadi nggak dengar”
“I …. Love …. You… “ Bisikku saat ia berada di dekatku. Ia menggenggam tanganku erat.
“Jangan minta jauh dari aku lagi, kamu tahu, itu membuat aku sadar, bahwa aku nggak mau kehilangan kamu”
“Bagus dong Ran, berarti aku semakin tahu, seberapa besar kamu sayang sama aku” jawabku dan melepaskan genggaman itu. Lalu aku duduk.
“Iya, tapi itu membuat aku tidak tenang. Aku kesal waktu kamu minta jauh dari aku. Aku takut nggak bisa jahilin kamu lagi” ia juga mengambil posisi duduk di sampingku.
Aku menoleh ke arahnya tak mengerti “tapi, untungnya aku ini termasuk orang yang cerdas. Aku berhasil membuat kamu merindukan sosok aku. Teman sebangkumu. Teman adu mulutmu dan aku senang, ternyata dengan begitu aku bisa tahu bahwa kamu sayang sama aku” lanjutnya.
“ Ha? Jadi ini semua Cuma guyonan? Jadi kamu nggak benar-benar marah atau apalah yang dibilang sama anak-anak?”
“Marah? Kesal? Apalagi itu, benci? Mana bisa. Mana bisa aku melakukan semua ke kamu”.
“Kenapa?”
“Kamu kan monster, hahahahaha”.
Aku geram dan aku mengacak-acak rambutnya dengan brutal “jangan-jangan kamu bilang sayang ke aku Cuma jahilan semata ya? Jahat,jahat,jahat” Randi mengaduh kesakitan. “Aduh,aduh, jangan anarkis dong Yang” ia menepis tangan brutalku dan merapikan rambutnya.
“Berantakan kan rambutku? Padahal udah susah payah nih, Cuma buat ini doang”
“RANDI…. SERIUS!” Randi menghentikan proses merapikan rambutnya kembali itu.
“Aduh Riang ku sayang, sayang aku ke kamu itu nyata bukan jahilan. Aku jadi makin sayang kamu” katanya sambil mencubit pipiku sepuas-puasnya. “Aduh… aduh… aduh” Ringisku dan menepisnya.
Ya, inilah akhirnya. Semua berakhir bahagia. Terutama aku dan Randi. Walaupun ujung-ujungnya harus lelah karena kejar-kejaran. Tapi aku senang. Randi itu tidak selamanya menyebalkan. Tapi itulah caranya menunjukkan sikap keromantisannya padaku dan aku bahagia, bisa menjadi orang yang spesial baginya begitu sebaliknya. Indah selamanya. 

Comments

Popular posts from this blog

Review Wahana Internsip Dokter

Chapter 10 : Koass Stase Obgyn

koass Stase IKK-IKM : Ikaka Ikaem