Tentang New Year's Eve
Kebetulan aku suka dengan 'essay' yang dituliskan Darwis Tere Liye, seorang penulis terkenal asal Indonesia. Niat nya memang, sebenarnya aku enggan untuk menjadi bagian dari perayaan new year's eve tahun ini. Iya. Aku tahu dan aku paham betul, ini bukan aku, bukan budayaku atau sejenisnya. Aku pastikan aku tidak mengucapkan 'Happy new year' kepada siapapun, dan yang mengirimkan ucapan itu ke seseorang dari ponselku, aku bersumpah itu bukan aku. Tapi aku tidak terlalu yakin, apa yang aku lakukan pada malam kemarin, apakah bisa dikatakan merayakan atau tidak. Jika iya, aku mohon ampun-Mu ya Allah.
Dari awal, aku berusaha untuk sedikit 'meracuni' pikiran teman-temanku, setidaknya kami tidak membeli kembang api lalu membakarnya, menginap, ataupun baberque-an dan aku tidak punya niat sengaja begadang malam ini khusus untuk malam tahun baru. Enggak. Soalnya, akhir-akhir ini memang jam malamku/ jam tidur sudah sangat bergeser ke jam 12 ke atas, lantaran baru dapat inspirasi untuk membuat skripsi di jam-jam segitu. Tapi Alhamdulillah, aku bukan penderita insomnia, karena sewaktu-waktu jika aku ingin tidur lebih cepat dari itu, aku masih bisa dengan mudahnya tertidur. Malam tadi kami hanya ngumpul di rumah, kemudian berlanjut cari makan karena lapar. dan Insyaallah niatku malam itu hanya sekedar untuk ngumpul dan setidaknya makan. Itu saja. Dan berhasil. Bahkan kami tidak sadar, bahwa percikan kembang api yang menghiasi langit kota sudah ditembakkan, saat melihat jam baru tersadar, ooh... sudah toh. Setelah itu kami bercengkrama sesambil memberikan surprise ulangtahun kepada sahabat kami, Deswan. Udah gitu aja kok. Jadi apakah termasuk merayakan?
Jadi berikut Essay yang dibuat Tere Liye
Bangsa Kehilangan Identitas
Si Bule itu kalau tahun baruan di Indonesia, pasti bakal kaget. Di negerinya, kembang api itu hanya diledakkan terbatas di tempat2 tertentu. Di Indonesia, menyambut tahun baru, orang2 bahkan membakar kembang api meledak-ledak di komplek perumahan, di gang-gang kecil, di pemukiman. Belum lagi tambahkan mercon dentam-dentum. Welcome, mister, di negeri ini, frankly speaking sejujurnya 20 tahun lalu, tidak ada perayaan tahun baru macam ini. Itu baru saja kami contoh dari kalian. Tapi kami melakukannya 'lebih keren', kami modifikasi hingga bablas.Kalau seandainya benar, aku melakukan kejahiliyahan itu lagi ya Allah, malam kemaren, aku menyesal. Aku mohon ampun-Mu ya Rab. :"(
Apakah saya keberatan dengan perayaan tahun baru? Tidak. Itu hak semua orang. Tidak jaman lagi berdebat soal ini. Karena toh, kalaupun saya mau berdalil bahwa tidak ada perayaan tahun baru sesuai contoh Nabi, eh ladalah, di mesjid2, orang2 ikut melakukan perayaan dengan modifikasi pengajian, kultum, muhasabah, dsbgnya. Coba tanya ke mereka. Apa bedanya dengan perayaan si tapir ilusinati? Jawabannya pasti gagah: bedalah, satu islami, satu tidak islami. Yang membuat pusing kepala mendengar argumennya, jadi sekarang ada jenis perayaan tahun baru islami?
Saya tidak akan meributkan hal ini, dek. Bukan urusan saya. Situ mau naik motor, kelayapan pas tahun baru, atau berduaan di pantai, hotel dsbgnya, membuat maksiat, toh, orang tua kalian juga dont care at all. Kalian sendiri pun yang sedang merusak diri sendiri juga dont care at all. Situ mau bikin acara apapun, khataman Al Qur'an, dsbgnya, menjadi ritual baru tiap tahun, toh, orang2 yang lebih berilmu dibanding saya tidak memberikan fatwa. Lantas kenapa saya harus peduli?
Essay ini saya tulis, simpel karena saya ingat dengan Bung Karno. Aih, kalau si Bung Karno ini masih hidup, maka apa komentar dia tentang "bangsa yang kehilangan identitas"? Lihatlah negeri ini, barat bukan, timur jauh. Kita bergaya kebarat-baratan merayakan ulang tahun (secara harfiah tahun baru itu tahunnya diulang lagi dari tanggal 1 Jan), hanya untuk membuat si bule bingung bukan kepalang. Pun bergaya ketimur-timuran merayakannya, untuk membuat lebih bingung lagi ahli tafsir yang lurus, memangnya ada? Lantas bagaimana dong?
Anak muda hari ini mungkin tidak lagi mau memikirkannya, kita sudah kehilangan identitas di banyak kesempatan. Gaya hidup, cara bersosialisasi, cara berpakaian, dsbgnya, mau ikut barat, apa daya tak sampai, mau pakai cara orang tua, aduh kok tidak lagi keren. Maka baiklah, kita jadinya terbiasa: biasakan yang sudah biasa. Terlepas dari itu benar atau tidak, yang penting pragmatis, mudah dilakukan.
Tidakkah masih ada yang mau memikirkan, 10 tahun terakhir, tatanan masyarakat kita sedang berubah secara massif. Nilai-nilai yang dipahami, norma-norma yang berlaku, massif sekali berubah. Apalagi soal relasi lawan jenis, kebebasan hidup, lebih massif lagi. Sayangnya, bangsa yang kehilangan identitas, hanya sibuk meniru kulit luarnya saja, yang enak2 itu saja. Kita tidak mengambil etos kerja, kemandirian, sistem yang jujur, respek, dsbgnya. Hanya kulit luarnya saja.
Tidakkah masih ada yang mau memikirkan, 10 tahun lagi, jangan-jangan kita tidak bisa lagi mendefinisikan mana nilai-nilai luhur yang pernah kita miliki. Kita bangganya memiliki nilai2 baru, yang hanya menjiplak kulitnya saja, bergaya, sementara yg punya nilai tersebut bingung melihat kita, karena mereka justeru mempelajari nilai2 luhur bangsa kita. Simpel saja, soal bahasa misalnya, besok lusa, mungkin yang bisa berbahasa jawa halus tinggallah si bule-bule. Kita? Sudah lupa.
Well, balik lagi ke tahun baru. Apa yang akan saya lakukan saat tahun baru?
Tidur--dan berharap bisa nyenyak dengan suara dentuman kembang api yang gila-gilaan.
Comments
Post a Comment