Kamu
Bahagia itu sederhana
yaa... sangatlah sederhana
seperti siang tadi. Entah beberapa hari ini aku mengharapkan kehadiranmu. Tapi yang ada hal itu berlalu tanpa jejakmu yang aku lihat. Secuil pun. Tapi siang tadi berbeda. Aku melihat punggungmu dari kejauhan. Aku menepis bahwa itu kamu. Mungkin aku hanya berharap itu kamu. Tapi aku salah, itu memang kamu. Iya itu beneran kamu. Aku melihat jelas itu memang kamu dan jarak kita semakin dekat. Hanya dua jengkal. Kamu tahu harapan bodoh apa aku siang tadi "sebut namaku seperti kebiasaanmu dulu. Ayolah kita berbincang. Aku rindu kamu. Kamu harus tahu itu".
Ada hal paling dungu yang tak bisa aku hindari pertama, aku tak kuasa untuk menatap tajam matanya kedua debaran jantung yang menggila ini. Sial. Ternyata aku sesayang itu sama kamu. Padahal berkali-kali aku berusaha untuk mengelak dan menghindar, nyatanya aku semakin berdebar untuk siang ini. Anggaplah debaran rindu terdalam.
"Sebut namaku. Panggil aku. Tersenyumlah padaku. Sapa aku" teriakku dalam hati. Tuhanpun mengizinkan teriakan hati itu tersahut.
"Ca" kamu menyapaku dan kami berlanjut untuk berbicara sebentar. Sekitar semenit dua menit mungkin. Tuhan, Engkau tau? Ini membahagiakan sekali. Sebisaku, aku mengendalikan si debaran jantung. Aku berusaha untuk menatap mata kamu saat berbicara. Aku berusaha untuk menutupi perasaanku ini. Sial. Kamu semakin menarik. Bukan tipikal tampan tapi aku semakin suka dengan penampilan kamu. Kamu yang berubah penampilan atau mataku saja yang mendadak bilang, bagaimanapun kamu, kamu tetap tertampan di hatiku? Ah, gombalan sampah. "Tuhan. Lain kali aku ingin lama lagi ya. Ingin lama bisa berbicara dengan dia, terimakasih Tuhan, memberikan apa yang aku mau",
"Semoga sukses Marisa, aku kesana dulu ya" ucap mu terakhir kali sebelum berlalu. Lalu pergi. Lagi hanya punggungmu saja yang kini aku lihat.
"Amiin. Kamu juga. Semoga kita berjumpa lagi dan berbicang lebih lama lagi"
yaa... sangatlah sederhana
seperti siang tadi. Entah beberapa hari ini aku mengharapkan kehadiranmu. Tapi yang ada hal itu berlalu tanpa jejakmu yang aku lihat. Secuil pun. Tapi siang tadi berbeda. Aku melihat punggungmu dari kejauhan. Aku menepis bahwa itu kamu. Mungkin aku hanya berharap itu kamu. Tapi aku salah, itu memang kamu. Iya itu beneran kamu. Aku melihat jelas itu memang kamu dan jarak kita semakin dekat. Hanya dua jengkal. Kamu tahu harapan bodoh apa aku siang tadi "sebut namaku seperti kebiasaanmu dulu. Ayolah kita berbincang. Aku rindu kamu. Kamu harus tahu itu".
Ada hal paling dungu yang tak bisa aku hindari pertama, aku tak kuasa untuk menatap tajam matanya kedua debaran jantung yang menggila ini. Sial. Ternyata aku sesayang itu sama kamu. Padahal berkali-kali aku berusaha untuk mengelak dan menghindar, nyatanya aku semakin berdebar untuk siang ini. Anggaplah debaran rindu terdalam.
"Sebut namaku. Panggil aku. Tersenyumlah padaku. Sapa aku" teriakku dalam hati. Tuhanpun mengizinkan teriakan hati itu tersahut.
"Ca" kamu menyapaku dan kami berlanjut untuk berbicara sebentar. Sekitar semenit dua menit mungkin. Tuhan, Engkau tau? Ini membahagiakan sekali. Sebisaku, aku mengendalikan si debaran jantung. Aku berusaha untuk menatap mata kamu saat berbicara. Aku berusaha untuk menutupi perasaanku ini. Sial. Kamu semakin menarik. Bukan tipikal tampan tapi aku semakin suka dengan penampilan kamu. Kamu yang berubah penampilan atau mataku saja yang mendadak bilang, bagaimanapun kamu, kamu tetap tertampan di hatiku? Ah, gombalan sampah. "Tuhan. Lain kali aku ingin lama lagi ya. Ingin lama bisa berbicara dengan dia, terimakasih Tuhan, memberikan apa yang aku mau",
"Semoga sukses Marisa, aku kesana dulu ya" ucap mu terakhir kali sebelum berlalu. Lalu pergi. Lagi hanya punggungmu saja yang kini aku lihat.
"Amiin. Kamu juga. Semoga kita berjumpa lagi dan berbicang lebih lama lagi"
Comments
Post a Comment