Ya Cuma Kamu

Ntah apa yang aku pikirkan. Hubunganku dengan Dio tak baik kini. Aku juga bingung apa salahku pada Dio hingga ia tak ingin bertemu denganku bahkan mengirim pesan singkatpun enggan. Lalu sore ini aku putuskan untuk menemui dia dan memperjelas semuanya. Sekalian, rindu yang selama ini tak mampu terungkap karena aku bungkam ingin segera aku sampaikan. Aku melangkah menuju rumah Nana, sahabatku. Aku ingin ia menemaniku ke asrama Dio.

Tapi ketika dalam perjalanan, aku menjumpai sosok yang akan aku temui di sebrang sana. Gadis berjilbab itu sedang berdiri bersedekap di halte. Apa hari ini ia naik bus? Kemana motor merah yang selama ini dipakainya? Pikirku. Kemudian aku berteriak menyebutkan namanya “NANA..” dan yang punya nama menoleh ke arahku. Ia melambaikan tangan dan membalas memanggil namaku “CIA..” teriaknya. 

Aku menyebrangi jalanan yang tak cukup rame sore itu dan aku menghampiri Nana. Aku bertanya kepada Nana kemana motor yang ia pakai selama ini dan dengan santai ia menjawab, ia malas untuk mengendarai motor kesayangannya itu. Aku pun mengutarakan maksudku yang menginginkannya menemaniku untuk bertemu Dio di asramanya. Asrama Dio memang cukup jauh. Dengan menggunakan sepeda motor bila jalanan tidak begitu macet, bisa menempuh waktu empat puluh lima menit dan sekarang jarum arlojiku menunjukkan pukul empat. Kalau tidak cepat, keburu malam akan tiba di rumah. Aku berharap besar pada Nana untuk menyanggupi permintaanku. Ketika Nana mengangguk setelah melihat wajah memelasku, aku tersenyum dan memeluk Nana. Bis yang dinantipun tiba.

Dengan bungkusan yang cukup besar yang sedang aku peluk, dengan mantap aku turun dari motor Nana. Dihadapanku kini adalah asrama Dio. Sebenarnya lebih tepatnya tempat ini adalah Mess, sebab, tak ada aturan seperti di asrama berlaku disini. Hanya saja aku lebih senang menyebutnya asrama.

“sudah siap?” Tanya Nana. Sedikit ragu aku mengangguk. Kami berdua masuk ke gedung itu. Memang sedang berjodoh, kami bertemu dengan salah seorang teman dekat Dio, namanya Ero.

“cari Dio ya?” tebak Ero dengan nada yang mencium seolah ada Juliet disini yang sedang mencari Romeo nya. Aku Cuma mengangguk, dan setelah itu Ero memutar badannya berteriak memanggil nama Dio. Yang punya nama keluar dari biliknya yang berada di lantai dasar. Ia keluar bersama temannya yang lain, namanya Gilang.

Ada raut tak senang yang ditampakkan Dio saat ia melihat bahwa tamu yang dimaksud Ero adalah aku. Sementara Gilang, sahabat kental Dio, menyambut kedatangan kami dengan sangat welcome dan menyuruh kami untuk duduk. Aku dan Nana masuk. Kemudian aku memperkenalkan Nana pada mereka.

“ini Dio, buat kamu” aku menyerah bungkusan yang aku bawa tadi pada Dio. Gilang hanya mengintip-intip kecil dan bertanya apa isinya. Aku hanya berkata “buka aja” Dio tidak terlalu bersemangat menerima pemberianku, berbeda dengan Gilang. Dio menyerahkan bungkusan itu ke Gilang dan ia mulai membuka isinya. Sedari tadi tak sedikitpun Dio menatapku. Justru ia malah berbicara pada Nana. Seolah-olah yang sedang bertamu itu hanya Nana dan aku dibiarkan begitu saja, untunglah ada Gilang yang supel.

“Kenapa kamu diem Yo? Cia jauh-jauh kesini Cuma buat kamu tuh. Kamu ada masalah apa sih sama Cia?” Tanya Gilang lagi. Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Tapi tampaknya Gilang lebih peka daripada Dio. Yang ditanya masih bungkam. Kemudian angkat bicara, dengan nada dingin “Tanya aja sama dia apa masalahnya” Gilang menatapku dan aku mengangkat bahu karena tak tahu apa-apa.

“Aku sampai sekarang nggak ngerti Yo masalah kita apa” ucapku polos dan Dio Cuma menghela napas.

“Kamu memang nggak akan pernah ngerti Cia” balasnya dan aku menyipitkan mataku masih heran “nggak usah menatapku seperti itu” bentaknya dan aku kaget lalu menunduk.

“Oke, aku nggak ngerti masalah kalian, mending aku, Nana sama Ero sedikit menyingkir dari sini, permisi” ucap Gilang sedikit menjauh dari kami berdua disusul Nana dan Ero.

‘Kamu memang nggak akan pernah ngerti sama perasaan aku Cia, karena di hati kamu memang nggak pernah ada aku” ucap Dio dengan nada yang cukup tinggi. Cukup membuat orang-orang di ruangan itu menatap kami dengan penuh rasa ingin tahu.

“Iya… gimana aku nggak pernah ngerti kalau kamu diam” balasku.

“Aku diam karena aku capek”

“Aku lebih capek karena kamu diam, aku nggak tahu masalahnya apa. Sementara perasaan aku semakin tak karuan, aku kesini Cuma bilang aku kangen kamu Yo”
Dio Cuma diam dan kemudian kembali berbicara “simpan saja rindumu itu untuk Desta. Meskipun aku bilang aku sayang kamu. Aku selalu kangen sama kamu, tetap aja, Desta, Desta dan Desta yang Cuma ada dipikiran kamu”ujarnya.

“Desta?”

“selama ini kamu selalu ada di samping Desta. Selama ini kamu selalu bicara tentang Desta, apa-apa Desta, dan sepertinya Desta lebih bisa menjaga kamu ketimbang aku” ungkapnya.

“Dio…”

“Sekarang udah malam. Telpon Desta sana, minta jemput aja kamu. Aku nggak mau kamu sama Nana pulang naik motor semalam ini. Perjalanan kalian itu jauh! Kamu bodoh, mengorbankan keselamatan kamu cuma untuk kesini”

“Karena aku sayang kamu, apa salah?” akhirnya aku mengungkapkan apa yang selama ini aku rasa. Tiba-tiba saja, hatiku merasa lega setelah mengatakannya. Namun perasaanku kini campur aduk. Jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya.

“Ntah lah Cia” jawab Dio kemudian berdiri menuju halaman. Aku mengikutinya dengan sedikit berlari “Dio” panggilku dan Dio menghentikan langkahnya.

“kamu mau tahu jawabnya kenapa? Aku sayang sama kamu Cia. Aku cinta sama kamu. Semenjak kenal sama kamu aku merasa kamu itu beda dari yang lain. Kamu itu unik. Tapi aku sadar, aku tak pernah ada dipikiran kamu. Apalagi jarak memisahkan kita. Sementara di dekatmu ada Desta. Yang siap menjaga kamu kapan aja. Aku merasa dipermainkan sama kamu. Kamu bawa aku setinggi-tingginya kemudian aku dihempaskan karena sebenarnya itu cuma angan-angan aku”

Aku memutar kepalanya dan kini kedua tanganku memegang pipinya, memaksanya agar menatapku “dengar kan aku . Kalau aku nggak sayang sama kamu nggak mungkin aku kesini. Kalau sayang ini bukan untuk kamu, nggak mungkin aku selalu ada buat kamu dulu. Kalau sayang ini bukan untuk kamu, nggak mungkin tiap hari aku merasa tersiksa dengan kamu memperlakukan aku seperti ini. Aku memang sempat suka sama Desta dulu, tapi itu dulu Yo, sebelum aku jauh mengenal kamu. Tapi aku sadar, aku sama Desta itu Cuma bisa jadi sahabat dan nggak lebih dan yang aku sayang itu kamu. Aku sadar setelah kamu menjauhi aku”

“Jadi?”

“ya… jadi apanya?”

“kalau kamu sayang, kenapa kamu nggak pernah balas kata rinduku?”

“Aku malu, bego!”ucapku sambil tersenyum. Ia pun tersenyum. Kami sama-sama tersenyum pada akhirnya. Inilah saat-saat yang dari dulu aku rindukan. Aku rindu dengan senyuman nya yang menurutku cukup membuat aku damai.

“maaf ya untuk selama ini,pacar”ucapnya yang sedikit membuat aku kaget “kenapa? Nggak suka ya?”
Tawaku terlepas “Pacar, pacar. Kapan jadiannya?” tanyaku dan Dio membalas “lho bukannya barusan ya?”

“kapan?” tanyaku dan Dio menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal “uuh yahh.. malu deh tu jadinya. Aduh. Kita jadian sekarang aja ya?” tanyanya dan membuatku semakin geli.

“nggak mau” jawabku.

“katanya sayang” ucapnya ngotot

“sayang bukan berarti jadi pacar” jawabku.

“oohh… bukan ya… berarti salah aku. Jadi kamu maunya gimana?’

“Langsung nikah aja yuk” ajakku. Aku menggamit tangannya dan tampak wajah tegang di wajah Dio. Kaget dengan ucapanku. ‘NIKAH?” tanyanya sedikit kaget.

“Haha… belum lah bego. Aku masih punya cita-cita yang masih pengen aku capai. Okelah pacarku yang ganteng” ucapaku dan Dio mengetekinku gemas “kamu tuh ya… iseng banget sempat aku mau nyuekin kamu seumur hidup”

“jangan dong pacar” ucapku sambil terkekeh-kekeh.
Disambut dengan Cie..cie.. dari yang lain. Kami berdua Cuma tersipu malu. 

ditulis 1198 kata
Inspired from mimpi gue tanggal 27 Februari
Sumpah demi apa ini kayak cerita FTV gaje aja. Huahaha... sebenarnya gak gini-gini amat, udah gue modif dikit. Soalnya ada beberapa bagian yang gue lupa.

Comments

Popular posts from this blog

Review Wahana Internsip Dokter

Chapter 10 : Koass Stase Obgyn

koass Stase IKK-IKM : Ikaka Ikaem