Jalan Takdir

Cinta itu sederhana. Ketika aku dan kamu masih selalu bersama. Masih bisa melihat tawamu yang renyah, senyummu yang memikat hati dan candaanmu yang selalu aku rindukan. Rindu itu sederhana, ketika aku merindukanmu dan kamu pun merindukanku. Kamu tahu ketika aku benar-benar butuh kamu dan aku tahu kapan kamu membutuhkan aku. Sayang itu sederhana. Tak perlu aku memohon sayang itu, kamu benar-benar memperlakukan aku selayaknya kamu benar-benar enggan kehilanganku, begitupun aku. Tapi indah ketiganya hanya dapat aku rasa ketika kita dalam masa pendekatan dulu.
Teringat di saat pertama kali kita berjumpa. Aku sendiri. Berdiri di tengah lorong di bandara yang berada di kotamu tanpa tahu harus kemana. Waktu itu aku nekat untuk pergi dari kotaku, karena ingin lepas dari semua kejenuhan yang membuat aku untuk bernafas saja sulit. Lalu kamu datang dengan tergesa-gesa dan tak sengaja menabrakku. Aku yang masih di bawah pengaruh emosi langsung saja memakimu sepuas aku memaki mantanku. Aku melampiaskan semua amarahku padamu dan kamu hanya terdiam melihat seorang perempuan yang tak kamu kenal tiba-tiba saja memakimu sebegitu rupa padahal kamu hanya melakukan sebuah kesalahan kecil.
“Sudah marah-marahnya?” itu ucapan pertamamu padaku. Seketika aku terdiam dan menangis sekencang-kencangnya dan terduduk di lantai bandara. Seketika itu pula kamu panik. Sebab orang-orang di sekitarmu memandangmu dengan pandangan tidak menyenangkan. Menganggapmu pria jahat yang menyebabkan seorang wanita menangis sekeras ini. Padahal aku dan kamu tidak saling mengenal.
Lalu, karena merasa tak enak hati, kamu mengangkat tubuhku dan mengusap airmataku dengan saputangan birumu yang wangi itu. Kamu berusaha menenangkanku dan akupun berhenti menangis “terimakasih” ucapku lirih. Setelah kamu merasa aku cukup tenang kamupun segera pamit karena ditunggu jemputanmu dan kita berpisah. Tanpa sempat aku mengetahui siapa namamu. Hanya saputangan biru ini yang masih bersamaku. Aku sempat berteriak “hei” bermaksud untuk mengembalikan saputangan ini. Tapi nyatanya kamu berlalu.
Ternyata Tuhan telah merancang kehidupan kita sebegitu rupanya. Sampai di sebuah kafe di kota yang sama, aku yang sedang memegang secangkir kopi hitam panas tiba-tiba tersandung dan kopi itu sukses tumpah ke mejamu, sementara tubuhku yang ikutan terjatuh berhasil kamu tangkap dan aku tak terluka sedikitpun. Bagiku hal itu memalukan. Aku segera meminta maaf dan saat aku masih tidak sadar bahwa yang sedang berada di hadapanku kini adalah kamu, dan kamu hanya mengangguk saat aku mengucapkan maaf.
Hari berikutnya masih di kota yang sama, di sebuah taman. Aku sedang melukiskan panorama danau yang menjadi primadona taman ini. Kali ini aku dan kamu bertemu tanpa adegan jatuh ataupun tabrakan. Kamu tiba-tiba saja berdiri di sampingku dan berkata “lagi-lagi kita dipertemukan. Jalan Tuhan memang tidak ada yang tahu” ucapmu. Aku kaget. Suaramu masih begitu asing di telingaku. Memoriku masih belum bisa mengenalimu karena dua kali bertemu, kamu hanya mengucapkan beberapa patah kata saja. Aku menoleh ke arahmu dengan tatapan heran, lalu kamu berkata “jangan menatapku seperti itu”.
Aku melanjutkan lukisanku tanpa menghiraukan kamu, kemudian kamu duduk di sebelahku sambil menatap lukisanku dan berkomentar “lukisanmu bagus, hanya saja gradasi warnanya sedikit kurang pas. Seharusnya warna biru yang di sebelah sana, kamu campurkan dengan warna yang ini dan ini, nanti kamu akan mendapatkan warna yang sesuai. Kemudian gambar yang di bagian ini, pencahayaannya masih kurang. Perlu sedikit penekanan pada gambarmu agar lebih kelihatan asli” ucapmu sambil mengajariku. Aku menghentikan aktivitasku dan menatap wajahmu masih dengan tatapan bingung, heran dan sedikit kesal.
“Aku orang yang kamu tabrak di kafe dan aku yang kamu buat malu di bandara karena tangisanmu yang sangat kencang itu”ucapnya dan aku tertegun. Benar katamu. Sepertinya Tuhan sedang merancang sesuatu untuk aku dan kamu, hingga untuk kali ini masih saja bertemu. Akhirnya aku tahu siapa namamu. Jerico. Atau kini aku memanggilmu Eyi. Hari-hariku di kotamu mulai ditemani oleh sosokmu yang ternyata menyenangkan. Aku merasakan adanya kenyamanan dan keteduhan. Di setiap harinya kamu penuh kejutan dan membuatku semakin tak ingin berpikir untuk pulang ke kotaku dan akhirnya aku dan kamu berpisah. Hingga suatu hari, tepatnya sebulan yang lalu, di puncak gunung yang kita daki, kamu berkata, bahwa ada aku di hatimu. Ada aku dipikiranmu dan adaku di setiap doamu. Lalu kamu memintaku untuk menjadi kekasihmu dan aku bersedia karena, aku dan kamu memang telah ditakdirkan Tuhan untuk bersama.
Hari-hari awal sebagai sepasang kekasih masih indah. Tetapi di minggu keduanya, sedikit demi sedikit aku merasa kamu berubah tepat setelah kepulanganku ke kotaku . Aku mulai merasakan kamu berbeda, bukan Eyi yang aku kenal dulu. Meskipun komunikasi masih lancar.
Minggu ketiga, aku mulai merasa kehilangan Eyi ku yang perhatian dulu. Eyi yang tak pernah lupa untuk menyapaku di pagi, siang dan menjelang tidurku. Eyi yang tak lupa mengingatkanku untuk solat dan makan yang teratur. Eyi mulai jarang melakukan itu. Ya… beruntungnya, dalam sehari, Eyi masih menghubungiku walaupun sekali. Aku tahu ia sibuk. Bulan ini ia sedang mendapat proyek besar dan cukup banyak. Aku hanya berusaha untuk tetap mengerti kondisi Eyi.
Minggu keempat dan tepat keesokkan harinya adalah hari jadi kita yang ke satu bulan dan kini aku pasrah dengan hubungan aku dan Eyi. Di minggu keempat ini Eyi tak lagi memberiku kabar sama sekali. Pesan singkatku tak dibalas, teleponku tak diangkat semua jejaringan social Eyi tak satupun yang update. Aku mulai mencemaskan keadaannya dan hubungan kita. Apa Eyi ada perempuan lain disana? Apa Eyi sudah jenuh dengan hubungan jarak jauh ini? Kenapa Eyi berubah? Kenapa Eyi tak semanis saat pendekatan dulu? Kalau aku bukanlah di hatinya lagi, lebih baik aku akhiri hubungan ini, ketimbang aku merasakan sakit yang begitu dalam. Aku hanya mengirim pesan padanya
Eyi, aku nggak ngerti dengan sikapmu akhir-akhir ini. Aku sms nggak dibalas, telepon nggak diangkat. Apa kamu sesibuk itu? Kalau memang kamu jenuh dengan aku, lebih baik kita selesaikan semuanya Yi, karena aku tak ingin sakit lebih dalam
****************************************************************
            Di hadapan tanah merah ini aku menangis dengan airmata yang mulai mengering. Mata yang sembab, dan tubuh yang masih sangat lemas. Tanahnya masih basah, meskipun ini sudah Empat hari yang lalu. Tak kuasa aku menghadapi kenyataan yang harus aku terima. Bahwa Eyi memang takkan pernah lagi menghubungiku untuk selama-lamanya. Aku takkan pernah lagi merasa manisnya saat bersama Eyi. Semuanya akan terkubur bersama jasadnya Eyi. Kini semuanya tinggal kenangan. Eyi takkan pernah membalas pesanku karena memang Eyi sudah tak mampu. Ternyata Eyi dititipkan padaku hanya sementara saja. Sekali lagi aku berkata, jalan Tuhan memang tak ada yang pernah tahu. Tapi kita harus tetap mensyukuri setiap detik nafas yang masih kita hirup. Setiap detik yang kita lewati.
            Eyi pergi untuk selama-lamanya, setelah kecelakaan saat menuju bandara. Eyi sengaja menghubungiku sesekali hanya ingin membuat surprise di hari jadi kita yang ke satu bulan. Namun di saat Eyi tak lagi memberi kabar, di saat itulah bahwa sebenarnya ia tak ada lagi di dunia ini. Tak ada satupun keluarganya yang memberitahukanku karena Eyi tak sempat mengenalkanku pada mereka. Selama beberapa hari Eyi tak menyahut pesan maupun teleponku, handphone nya tak ada satupun yang menyentuh hingga baterainya habis. Barulah di hari ketiga, pesanku ada yang membalas. Itu pesan terakhir yang aku kirim, hanya untuk meminta kepastian. Tiba-tiba saja nomor Eyi menghubungiku dan aku menjawabnya, ternyata bukan suara Eyi, melainkan abangnya yang memberitahukan kabar duka itu. Seketika itupula aku tak sadarkan diri.

Ditulis : 1169 kata
Shelvia Chalista

Comments

Popular posts from this blog

Review Wahana Internsip Dokter

Chapter 10 : Koass Stase Obgyn

koass Stase IKK-IKM : Ikaka Ikaem