Deo, kamu adalah yang terindah dan terbaik yang sudah dikirimkan Tuhan buatku, tapi kenapa hingga kini aku sulit mengakui bahwa kamulah yang ada bersamaku sekarang? Kenapa yang masih ada di mimpiku masih saja Sandi?
"Renaa... ren, hei. Kamu lagi enggak fokus dengan penjelasan aku ya?" Ucap Deo. Iya mengguncang bangkuku. Aku tersadar dari lamunanku. Kaget. "Tuu kan. Kamu lagi mikirin apa?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. Deo mengangguk pelan. "Yaudah kalau nggak mau cerita. Jadi kita mau lanjut belajar atau?"
"Lanjut aja sih. Aku enggak apa. Tapi lagi mikir dikit aja. He he he " jawabku dengan cengiran.
"Oke, jadi gini...." Deo melanjutkan penjelasannya.
Apa benar sampai sekarang aku tega masih belum bisa menaruh dan menitipkan hatiku padanya? Kenapa aku masih bimbang?
"Deo" panggilku, memotong penjelasan Deo. Deopun menghentikan pembicaraannya dan menaikkan alisnya, menandakan ia bertanya, iya? Ada apa? Kemudian iya tidak terlalu menatapku. Bukan ia tidak sopan. Itulah Deo, sangat menjaga pandangannya terhadap wanita, iya juga tidak pernah menyentuh kulitku langsung, katanya, agama melarang dua pasang anak manusia yang bukan muhrim dan belum menikah kontak kulit langsung. Ia sangat berpegang teguh pada agamanya dan ini yang sebenarnya membuat aku tenang dan aman bersamanya.
"Makasih ya" tambahku. Iagi, iya menatapku sebentar dan menaikkan alisnya. Tandanya ia bertanya, maksudnya.
"Iya. Selama ini. Kamu mengajari aku dan ... memperlihatkan sayangmu padaku meskipun kita tidak berstatus" ujarku.
Deo tersenyum dan kini sedikit lebih lama menatapku, karena ingin berbicara"kembali kasih. Aku dari dulu kan emang cuma bilang aku suka sama kamu, aku sayang. Aku cuma ingin kenal kamu lebih dekat dan aku enggak berharap kita pacaran, karena esensinya lain. Hehe. nanti, kalau kita sama-sama siap, kita langsung menikah aja" jawabnya polos. Dan kepolosannya itu yang membuatku kaget. Menikah? Sejauh itu? Terpikir saja belum. Aku cuma tersenyum. "Senyummu itu candu. Hehe. Maaf aku enggak bisa lama-lama melihatnya" ia kembali menunduk, ketawaku meledak.
"Kamu luar biasa Deo" ucapku.
Mungkin aku bisa meralat kata-kataku sebelumnya. Sepertinya aku sudah bisa menitipkan hatiku perlahan pada pria yang duduk di hadapanku. Aku hanya masih saja sedikit terjebak di masa lalu. Mendengar kata-kata dan sikap Deo barusan, aku yakin, aku mulai jatuh cinta pada anak ini.
Tapi beberapa meter dari tempat kami duduk, ada sepasang mata yang menatap kami dengan tatapan berbeda. Aku tak sengaja menangkap tatapan itu namun tak kuindahkan. Dia Sandi.
"Renaa... ren, hei. Kamu lagi enggak fokus dengan penjelasan aku ya?" Ucap Deo. Iya mengguncang bangkuku. Aku tersadar dari lamunanku. Kaget. "Tuu kan. Kamu lagi mikirin apa?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. Deo mengangguk pelan. "Yaudah kalau nggak mau cerita. Jadi kita mau lanjut belajar atau?"
"Lanjut aja sih. Aku enggak apa. Tapi lagi mikir dikit aja. He he he " jawabku dengan cengiran.
"Oke, jadi gini...." Deo melanjutkan penjelasannya.
Apa benar sampai sekarang aku tega masih belum bisa menaruh dan menitipkan hatiku padanya? Kenapa aku masih bimbang?
"Deo" panggilku, memotong penjelasan Deo. Deopun menghentikan pembicaraannya dan menaikkan alisnya, menandakan ia bertanya, iya? Ada apa? Kemudian iya tidak terlalu menatapku. Bukan ia tidak sopan. Itulah Deo, sangat menjaga pandangannya terhadap wanita, iya juga tidak pernah menyentuh kulitku langsung, katanya, agama melarang dua pasang anak manusia yang bukan muhrim dan belum menikah kontak kulit langsung. Ia sangat berpegang teguh pada agamanya dan ini yang sebenarnya membuat aku tenang dan aman bersamanya.
"Makasih ya" tambahku. Iagi, iya menatapku sebentar dan menaikkan alisnya. Tandanya ia bertanya, maksudnya.
"Iya. Selama ini. Kamu mengajari aku dan ... memperlihatkan sayangmu padaku meskipun kita tidak berstatus" ujarku.
Deo tersenyum dan kini sedikit lebih lama menatapku, karena ingin berbicara"kembali kasih. Aku dari dulu kan emang cuma bilang aku suka sama kamu, aku sayang. Aku cuma ingin kenal kamu lebih dekat dan aku enggak berharap kita pacaran, karena esensinya lain. Hehe. nanti, kalau kita sama-sama siap, kita langsung menikah aja" jawabnya polos. Dan kepolosannya itu yang membuatku kaget. Menikah? Sejauh itu? Terpikir saja belum. Aku cuma tersenyum. "Senyummu itu candu. Hehe. Maaf aku enggak bisa lama-lama melihatnya" ia kembali menunduk, ketawaku meledak.
"Kamu luar biasa Deo" ucapku.
Mungkin aku bisa meralat kata-kataku sebelumnya. Sepertinya aku sudah bisa menitipkan hatiku perlahan pada pria yang duduk di hadapanku. Aku hanya masih saja sedikit terjebak di masa lalu. Mendengar kata-kata dan sikap Deo barusan, aku yakin, aku mulai jatuh cinta pada anak ini.
Tapi beberapa meter dari tempat kami duduk, ada sepasang mata yang menatap kami dengan tatapan berbeda. Aku tak sengaja menangkap tatapan itu namun tak kuindahkan. Dia Sandi.
Comments
Post a Comment