dalam tawa aku rindu
Airin
"Kalau kalian tetap seperti ini. Selamanya akan seperti ini dan tidak ada habisnya" ucapan Arya seolah-olah terus terngiang-ngiang di telingaku.
"Enggak pokoknya aku gak mau. Menurut aku apa yang aku pilih sudah tepat" tolakku dan aku berlalu. Sembari mencari orang yang sedang kami perbincangkan.
"Apakah keputusanku sudah tepat? Apakah aku siap untuk sakit kesekian kalinya? Aku sudah tidak punya waktu lama sebelum akhirnya takdir memutuskan semua" ujarku dalam hati.
Bimbang. Aku terus mencari siapa yang benar dan apa yang benar. Di satu sisi apalagi yang aku ragukan? Bukankah semua terlihat sudah benar? Dan semua yang aku ingin kan sudah terpenuhi. Tapi mash tetap saja ego terus membelengguku.
" aku ingin dengar penjelasan dari mulutnya. Bukan orang lain" gumamku. Tiba-tiba yang aku cari muncul dihadapanku. Sebenarnya masih tersimpan rasa kesal pada orang yang aku kasihi itu, setiap melihatnya , rasa enggan untuk melihat timbul. Daripada rasa kesalku besar ketimbang rasa sayangku, aku memilih untuk pergi.
diam-diam aku memperhatikan mereka berdua berbicara. Sesekali Arya melihat ke arahku tapi ditanggapi datar oleh Rio. "Mereka membicarakan aku? Mereka bicara apa lagi?"aku menaruh curiga pada mereka berdua.
Rio selalu begitu. Tingkahnya tidak bisa ditebak. Apakah dia sama kesalnya padaku ataukah seperti apa. Itu yang membuat aku memutuskan untuk bersikap seolah-olah acuh. Inginku ia tahu apa yang aku mau. Tapi... ini sudah sebulan dan aku rasa sikapku sia-sia. "Atau aku yang harus mengalah? Meruntuhkan egoku dan mencoba kembali seperti dulu? Seolah-olah tidak ada apa-apa dan baik-baik saja"
"Rio... sebenarnya aku kangen sama kamu. Kita udahan yuk diem-dieman nya" bibirku bergetar mataku berkaca-kaca. Aku pun berlalu.
waktu demi waktu berlalu dan semakin lama aku semakin tidak suka keadaan ini "benar yang Arya bilang... ini tidak akan ada habisnya. Atau aku sendiri yang aku menyesal. Atau sebenarnya, Rio sudah tidak sesayang itu padaku? " masih saja, otak dan perasaanku bergejolak.
tiba suatu ketika. Seakan semua gundah itu larut dalam kesejukan oasis yang sudah lama aku cari
"Hai Airin...."
langsung aku menoleh ke belakang dan tak lagi aku sembunyikan bahagiaku saat Rio menyapaku lembut "hai ... Ri..yo..." aku menyunggingkan senyuman paling bahagia yang sudah lama tak aku rasakan. Siang itu serasa perselisihan kemaren tidak pernah ada. Kami berdua larut dalam tawa.
"Ini yang tak pernah ingin aku kehilangan Yo, saat tertawa bersamamu. Kamu selalu bisa membuat aku tertawa, terima kasih Rio"
Rio
Siang itu saat aku sedang kumpul bersama teman-teman priaku. Temanku Hendro datang menghampiriku "yo, Airin kayaknya lagi nyari-nyari seseorang. Kayaknya itu lo deh" aku hanya tertawa
"Eh lo pikir di hidupnya cuma gue doang. Bisa aja kali dia nyari siapa gitu"
"Ah lo mah. Kapan kelarnya sih diem-dieman gini sama tu anak. Lo gak capek apa? Inget man, limit waktu, ntar nyesel lo" ujar Hendro lagi. Aku terdiam. Segera aku meninggalkan kantin dan menuju ke tempat keberadaan Airin. Tapi tampaknya dia sudah pergi. Tiba-tiba Arya memanggilku
"Tadi gue ngobrol sama Airin. Parah gila. Kalian sama-sama gengsian dan keras kepala"
"Lo gak tau masalahnya sih"
"Apapun itu. Yang jelas, gue tau dari matanya. Dia masih sayang sama lo"
Akupun begitu. Sejak kapan sih sayang aku berubah pada cewek yang sudah membuat aku enggak tidur semaleman, yang membuat aku terlalu jatuh cinta. Tapi, bagaimana cara memulainya? Sudah sebulan kami seperti ini. Sebenarnya aku rindu tertawa bersamanya. Tapi.... aku terlalu gengsi untuk merajutnya kembali.
waktu demi waktu berlalu. Keadaan ini sungguh membuat aku sudah kehilangan akal sehatku. Untuk tidak berbicara dengannya sehari saja rasanya sungguh, aku kehilangan separuh dari semangatku. Cewek ini benar-benar merubahku. Siang ini aku putuskan untuk mengakhiri semua. Aku laki-laki dan biarkan aku mengalah demi yang tercinta.
"Hai Airin" sapaku siang itu. Untuk membalikkan keadaan. Gadis itu menoleh dan tersenyum. Tuhaaaan. Engkau ciptakan makhluk seindah ini dan aku membiarkan kehilangan dia berminggu-minggu
"Hai Ri..yo" balasnya. Siang itu benar-benar awal dari segalanya. Kami kembali seperti dulu. Aku rindu tawanya yang lepas itu. Tuhan. Aku janji takkan melepasnya
"Kalau kalian tetap seperti ini. Selamanya akan seperti ini dan tidak ada habisnya" ucapan Arya seolah-olah terus terngiang-ngiang di telingaku.
"Enggak pokoknya aku gak mau. Menurut aku apa yang aku pilih sudah tepat" tolakku dan aku berlalu. Sembari mencari orang yang sedang kami perbincangkan.
"Apakah keputusanku sudah tepat? Apakah aku siap untuk sakit kesekian kalinya? Aku sudah tidak punya waktu lama sebelum akhirnya takdir memutuskan semua" ujarku dalam hati.
Bimbang. Aku terus mencari siapa yang benar dan apa yang benar. Di satu sisi apalagi yang aku ragukan? Bukankah semua terlihat sudah benar? Dan semua yang aku ingin kan sudah terpenuhi. Tapi mash tetap saja ego terus membelengguku.
" aku ingin dengar penjelasan dari mulutnya. Bukan orang lain" gumamku. Tiba-tiba yang aku cari muncul dihadapanku. Sebenarnya masih tersimpan rasa kesal pada orang yang aku kasihi itu, setiap melihatnya , rasa enggan untuk melihat timbul. Daripada rasa kesalku besar ketimbang rasa sayangku, aku memilih untuk pergi.
diam-diam aku memperhatikan mereka berdua berbicara. Sesekali Arya melihat ke arahku tapi ditanggapi datar oleh Rio. "Mereka membicarakan aku? Mereka bicara apa lagi?"aku menaruh curiga pada mereka berdua.
Rio selalu begitu. Tingkahnya tidak bisa ditebak. Apakah dia sama kesalnya padaku ataukah seperti apa. Itu yang membuat aku memutuskan untuk bersikap seolah-olah acuh. Inginku ia tahu apa yang aku mau. Tapi... ini sudah sebulan dan aku rasa sikapku sia-sia. "Atau aku yang harus mengalah? Meruntuhkan egoku dan mencoba kembali seperti dulu? Seolah-olah tidak ada apa-apa dan baik-baik saja"
"Rio... sebenarnya aku kangen sama kamu. Kita udahan yuk diem-dieman nya" bibirku bergetar mataku berkaca-kaca. Aku pun berlalu.
waktu demi waktu berlalu dan semakin lama aku semakin tidak suka keadaan ini "benar yang Arya bilang... ini tidak akan ada habisnya. Atau aku sendiri yang aku menyesal. Atau sebenarnya, Rio sudah tidak sesayang itu padaku? " masih saja, otak dan perasaanku bergejolak.
tiba suatu ketika. Seakan semua gundah itu larut dalam kesejukan oasis yang sudah lama aku cari
"Hai Airin...."
langsung aku menoleh ke belakang dan tak lagi aku sembunyikan bahagiaku saat Rio menyapaku lembut "hai ... Ri..yo..." aku menyunggingkan senyuman paling bahagia yang sudah lama tak aku rasakan. Siang itu serasa perselisihan kemaren tidak pernah ada. Kami berdua larut dalam tawa.
"Ini yang tak pernah ingin aku kehilangan Yo, saat tertawa bersamamu. Kamu selalu bisa membuat aku tertawa, terima kasih Rio"
Rio
Siang itu saat aku sedang kumpul bersama teman-teman priaku. Temanku Hendro datang menghampiriku "yo, Airin kayaknya lagi nyari-nyari seseorang. Kayaknya itu lo deh" aku hanya tertawa
"Eh lo pikir di hidupnya cuma gue doang. Bisa aja kali dia nyari siapa gitu"
"Ah lo mah. Kapan kelarnya sih diem-dieman gini sama tu anak. Lo gak capek apa? Inget man, limit waktu, ntar nyesel lo" ujar Hendro lagi. Aku terdiam. Segera aku meninggalkan kantin dan menuju ke tempat keberadaan Airin. Tapi tampaknya dia sudah pergi. Tiba-tiba Arya memanggilku
"Tadi gue ngobrol sama Airin. Parah gila. Kalian sama-sama gengsian dan keras kepala"
"Lo gak tau masalahnya sih"
"Apapun itu. Yang jelas, gue tau dari matanya. Dia masih sayang sama lo"
Akupun begitu. Sejak kapan sih sayang aku berubah pada cewek yang sudah membuat aku enggak tidur semaleman, yang membuat aku terlalu jatuh cinta. Tapi, bagaimana cara memulainya? Sudah sebulan kami seperti ini. Sebenarnya aku rindu tertawa bersamanya. Tapi.... aku terlalu gengsi untuk merajutnya kembali.
waktu demi waktu berlalu. Keadaan ini sungguh membuat aku sudah kehilangan akal sehatku. Untuk tidak berbicara dengannya sehari saja rasanya sungguh, aku kehilangan separuh dari semangatku. Cewek ini benar-benar merubahku. Siang ini aku putuskan untuk mengakhiri semua. Aku laki-laki dan biarkan aku mengalah demi yang tercinta.
"Hai Airin" sapaku siang itu. Untuk membalikkan keadaan. Gadis itu menoleh dan tersenyum. Tuhaaaan. Engkau ciptakan makhluk seindah ini dan aku membiarkan kehilangan dia berminggu-minggu
"Hai Ri..yo" balasnya. Siang itu benar-benar awal dari segalanya. Kami kembali seperti dulu. Aku rindu tawanya yang lepas itu. Tuhan. Aku janji takkan melepasnya
Comments
Post a Comment